Sekretaris Baru (Prolog)

79K 3.8K 99
                                    

Ezra berusaha tetap santai saat melangkah beriringan masuk ke gedung perkantoran tempat di mana kantor kakaknya berada. Di sisinya seorang wanita yang walau dalam keadaan hamil tua tetap terlihat seksi mampu berjalan penuh energi, auranya yang memimpin seakan lupa siapa bosnya di kantor ini.

"Pokoknya kamu jangan sekalipun godain dia, jabat tangan lebih dari tiga detik pun nggak boleh. Ingat! Dia orangnya Mas Vardy."

Ezra mengernyit saat ujung telunjuk Wanda menuding tepat di depan wajahnya, menahan keinginan untuk memutar bola matanya. Kenapa cewek bisa mengoceh sambil jalan tanpa tersandung sesuatu?

"Kamu yakin, Vardy bukan sedang amankan selingkuhannya di kantor ini?" goda Ezra.

Wanda melotot padanya, mungkin dia pikir itu akan membuat Ezra takut. "Jangan buat aku dan Mas Vardy bertengkar. Aku udah capek cemburu terus sama hal yang nggak jelas."

Dengan santai ia mengibaskan tangan menyingkirkan telunjuk-tidak-berpendidikan Wanda dari depan wajahnya.

"Terus nih, kalau dianya mau dicolek apa tetap aku yang salah?"

Telunjuk Wanda kembali menudingnya, "iya, itu salah kamu. Aku nggak mau punya alasan untuk pecat dia," Wanda menghela napas saat mereka berhenti di depan pintu ruangan Ezra, tangan kirinya menggenggam gagang pintu tapi tidak memutarnya, ia menatap serius pada adik ipar yang meresahkan itu. "Dia cuma pegawai honorer di kantor Mas Vardy, kamu tahukan bayarannya honorer berapa?"

"Sebenarnya itu bukan tanggung jawab Vardy apalagi aku, Wan. Dia pilih jadi honorer mungkin karena dia malas aja, berharap ada pengangkatan dan bisa jadi PNS tanpa seleksi."

Kali ini Wanda terdiam, bagaimanapun juga komentar Ezra terdengar ada benarnya. Tapi...

"Bukan berarti kamu bisa godain dia, Ray. Menurut aku dia perempuan baik - baik. Kasih dia kesempatan untuk hidup lebih baik."

"Dekat dengan aku akan buat hidup dia lebih baik, Wan."

"Ray!" geram Wanda pelan.

Ezra mengangkat kedua bahu, "kalau memang menurut kalian dia itu... baik, nggak perlu cemas dia bakal tergoda dong."

Tidak begitu bagi Wanda, ia mengakui bahwa Ezra memiliki kemampuan menggoda malaikat terjun ke neraka untuk menemani iblis.

"Aku tahu kapasitas kamu, Ray. Kamu berbahaya."

Ezra tersenyum miring, "oh, jadi kamu takut tiba - tiba berpaling dari Vardy?"

Wanita itu mendengus, "mimpi! Andai aku skizofrenia sekalipun aku bakal tetap ingat Mas Vardy."

Ezra bergumam datar, "jadi pengen muntah."

"Inget ya, Ray-" Wanda mengabaikan sindiran Ezra dengan mudah, "dia asisten pribadi kamu merangkap pencatat pembukuan kita, kerjaannya udah banyak, jangan ditambahin dengan yang nggak - nggak." Ia membuka pintu perlahan lalu mereka masuk bersama.

"Dia kerja di bawahku, jelas ada banyak hal 'nggak - nggak' yang harus dia lakukan untuk buat aku puas. Aku bosnya."

"Kamu memang bosnya, tapi aku tetap berhak awasi kalian."

"Kapasitas kamu apa? Kerja baru sebentar udah ajukan cuti hamil."

Wanda melirik sinis, "jelas kapasitas aku adalah sebagai kakak ipar yang peduli setengah mati pada adik ipar playboy sekaligus bujangan paling bajingan."

Ezra tak dapat menahan seringai lebarnya, "Wuih! Makasih ya buat gelar gandanya—playboy sekaligus bujangan paling bajingan."

Wanda terbelalak ngeri, "kamu bangga, Ray?" dan Ezra hanya terkekeh geli.

Indra penciuman mereka teralihkan oleh wangi kopi di atas meja yang menandakan sekretaris barunya sudah tiba lebih dulu dan melakukan tugasnya, walau yah... ia tidak terlihat di ruangan ini.

Wanda tersenyum bangga melirik cangkir kopi itu. "Lihat! Awal yang bagus, kan?"

Ezra mendekati meja lalu meletakan tasnya, ia mengangkat cangkir lalu menghirup wangi kopinya. Ia mengangguk, lumayan memperbaiki mood.

"Sekretaris pilihan aku kemarin juga oke," benak Ezra melayang pada malam - malam penuh keringat yang ia habiskan dengan Ine, bibirnya tersenyum lebar, "oke banget, malah." Sleep with boss. Sayangnya nasib Ine tidak semanis novel, berdasarkan keputusan sepihak, Ine diberhentikan sepihak walau dengan pesangon.

Wanda memutar bola matanya, "kamu nggak serius, kan? Dia ke kantor pakai garter. Mana ketinggalan di situ lagi (Wanda menuding kamar istirahat di sisi tembok yang kini tertutup), pikirannya di mana coba?"

Ezra mengedikkan bahu lalu menyesap sedikit kopi buatan sekretaris barunya, "namanya juga usaha." Teringat garter hitam yang ia sentuh saat Ine berpura - pura merunduk merapikan berkas di meja tamu sehingga bokongnya terangkat menantangnya.

Raut wajah Wanda berubah sendu dan suaranya menjadi lirih saat mengatakan, "pendidikan dia (sekretaris baru) ini nggak cukup tinggi. Dia lulusan akademi sekretaris yang aku juga nggak tahu di mana adanya. Tapi menurut Mas Vardy dia cekatan, aku harap kamu sabar untuk saat – saat awal, mungkin masa adaptasinya sedikit lebih lama."

Ezra mengernyit protes, "katanya kalian pilih yang terbaik?"

"Ini udah yang terbaik, Ray."

"Menurut siapa? Kalian nggak obyektif hanya karena rasa kasihan. Tapi aku yang bakal tatap muka tiap hari sama dia. Kebayang sebelnya jadi aku yang bekerja dengan orang nggak kompeten?" ia mendengus angkuh, diam – diam menyusun skenario menendang sekretaris barunya nanti, "begini, aku bakal kasih kesempatan tiga bulan. Kalau menurutku dia tidak layak, terpaksa aku pecat dan kalian tidak berhak ikut campur urusanku lagi, pribadi maupun bukan."

Wanda belum sempat menanggapi keputusan Ezra karena mendengar bunyi hak sepatu yang semakin dekat. Ketukan di pintu yang terbuka hanya mengumumkan bahwa ada orang lain di antara mereka disusul sapaan sopan.

"Selamat pagi!"

"Pagi!" terdengar nada ramah Wanda menyambutnya.

Ezra baru akan mengulang hal yang sama ketika merasakan tangannya bergetar, kopi tumpah dari cangkir yang ia genggam membasahi lengan baju dan sebagian jasnya.

Kekonyolan pagi hanya karena dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis kurus, walau tidak seksi seperti Wanda namun Ezra dapat melacak bagian - bagian yang tepat terisi dengan sempurna, sebut saja bokong dan payudara.

Kaki jenjang dilapisi stoking hitam tipis yang menyamarkan warna kulit aslinya. Rambut hitamnya diikat ekor kuda, ia tidak membiarkan satu anak rambut pun lolos pagi ini. Mungkin dia tipikal praktis dan sederhana, bukan kesukaan Ezra. Pria itu lebih menyukai sekretaris yang menggerai rambut dengan ikal buatan di ujungnya sehingga ia dapat membayangkan melilitkan jemarinya di sana.

Di bawah hidungnya yang mancung, bibir wanita itu seakan berusaha keras menyungging senyum profesional untuknya, senyum yang Ezra tahu sangat ia paksakan. Wanita itu baru saja menyelesaikan tugas rutin paginya yakni menyediakan pakaian cadangan—terlihat setelan pakaian terbungkus plastik dengan cap binatu langganan kantor ini di tangannya.

"Pagi, Pak! Bu Wanda-"

Gadis itu baru saja hendakberbasa - basi soal mengambil pakaian yang dikirim binatu saat Ezra dengan nadatinggi menyela, "apa - apaan nih?!"

Work from HellWhere stories live. Discover now