Bab 18

121K 11.2K 1.2K
                                    

Selamat Membaca









Kalau saat kejadian tadi Gladis sama sekali tidak menangis. Kini, saat sudah berada di dalam mobil bersama dengan Malik dan Denis, gadis itu mulai terisak pelan. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi kepada Dewa.

Malik dan Denis yang berada di bangku depan saling lirik. Lalu, Malik berdeham dan menoleh ke belakang. Di mana Dewa tengah tidak sadar diri di pangkuan Gladis.

“Dis, nggak usah nangis. Si Dewa bangsat. Dia matinya lama.”

Mendengar itu, Gladis malah semakin menangis yang membuat Malik kelabakan sendiri. Denis yang tengah menyetir memukul pelan lengan temannya.

“Lo kadang bego nggak tahu tempat, ya!”

“Dis, Dis, udahan, dong. Kok, tambah kenceng nangisnya,” ujar Malik.

Gladis hanya menangis dan terus memandangi wajah Dewa yang tidak sadarkan diri.
Bagaimana kalau lelaki itu gagar otak? Bagaimana kalau Dewa tidak bisa mengingat apa pun? Gladis menangis ketakutan. Mama Dewa pasti akan menyalahkannya.

Saat sampai di UGD, Putra ternyata sudah bersiap di sana dengan jas dokternya. Lelaki itu cukup terkejut melihat keberadaan Gladis di sana. Malik menghubunginya, dan mengatakan kalau Dewa jatuh dan tidak sadarkan diri. Hanya itu. Putra menebak, pasti telah terjadi sesuatu di sini.

Saat Dewa tengah ditangani, Gladis, Malik dan Denis menunggu di depan ruang UGD. Gadis itu masih diam dengan tangan yang saling mengganggam erat.

“Lo hubungin Mamanya Dewa?” tanya Denis yang dijawab anggukan oleh Malik.

Mendengar itu, Gladis semakin gugup di tempatnya. Bagaimana kalau setelah ini, mama Dewa akan menyalahkannya?

Beberapa menit menunggu, Putra menghampiri ketiganya. Ketiganya berdiri menyambut Putra.

“Dewa nggak apa-apa, kok. Dia cuman syok, mangkanya pingsan. Apalagi, akhir-akhir ini Dewa emang nggak sehat.”

Malik dan Denis manggut-manggut mendengarnya. Putra beralih kepada Gladis yang tampak belum puas mendengar penjelasannya.

“Gladis."

“Ya?”

“Mau lihat Dewa di dalam?”

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. “Memangnya boleh, Bang?” tanyanya pelan.

“Bolehlah. Ayo, aku antar,” ajak Putra sambil berjalan lebih dulu ke arah UGD.

Gladis menatap kedua teman Dewa. “Aku masuk dulu ya, Kak,” ujarnya. Setelah mendapatkan anggukan dari Malik dan Denis, Gladis mulai mengikuti langkah Putra.

“Dewa di sana. Sengaja tirainya ditutup.” Putra menepuk pelan bahu Gladis. “Aku tinggal, ya.”

Gladis mengangguk. “Makasih, Bang.”

Setelah kepergian Putra, Gladis menyibak tirai itu perlahan. Di sana, di ranjang itu Dewa tengah memejamkan matanya. Gladis berjalan mendekat dan duduk di kursi yang ada di sana.

Tangan Gladis meraih tangan Dewa, dan menggenggamnya. Dia kembali menangis. Menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang menimpa Dewa.

Gladis diam saat mendengar rintihan pelan yang berasal dari mulut Dewa. Gadis itu menanti dengan jantung yang berdebar. Saat akhirnya Dewa membuka matanya dengan lebar dan menatap tepat ke arahnya, Gladis menyunggingkan senyum penuh kelegaan.

“Kamu siapa?”

Senyum yang tadi Gladis tunjukkan sirna. Gadis itu diam dan terkejut. Kata Putra, Dewa baik-baik saja. Lalu, kenapa pertanyaan lelaki itu begitu? Apa Dewa tidak mengenalinya?

RASAWhere stories live. Discover now