Bab 9

157K 13.2K 1.1K
                                    

Selamat Membaca






Menjelang malam, Dewa baru pulang ke rumahnya. Seharian berada di kampus, pikirannya malah tertuju kepada Gladis. Gadis itu benar-benar mampu mengalihkan dunianya.

“Wa, kamu baru pulang?” sapa sang mama yang tengah berjalan ke arah ruang tengah.

“Iya, Ma. Ada apa?”

“Sabtu besok kamu jangan ke mana-mana, ya.”

“Memangnya ada apa, Ma?” tanya Dewa heran.

“Kita ke rumah Bunda kamu. Sabtu besok, dia ulang tahun. Kamu nggak lupa, kan?”

Dewa berdecak. “Ma, Dewa nggak akan ikut. Mama tahu itu,” ujarnya kesal.

“Wa, sampai kapan kamu bersikap kayak gini? Sampai kapan kamu menolak berdamai dengan keadaan?”

“Ma, gimana Dewa bisa lupa, kalau rasa sakit itu bahkan sampai sekarang masih ada.” Dewa berucap dengan nada yang dinaikkan. Dia hendak berjalan menuju tangga untuk ke kamarnya, tapi perkataan sang abang menghentikannya.

“Wa, kali ini, dengarin Mama.”

Perkataan bernada tegas itu milik sang abang. Di dalam rumahnya, sang mama dan Putra memang sudah berdamai dengan keadaaan. Tapi, tidak dengan Dewa. Dia yang paling dekat dengan sang papa. Dia telanjur kecewa.

“Gue nggak bisa, Bang. Berapa kali gue harus bilang itu?” tanya Dewa sambil melirik ke arah sang abang dengan tajam.

“Sampai kapan, Wa? Kamu tahu, hidup berdasar dendam, nggak akan terasa nyaman.” Putra menatap sang adik sambil membuang napas pelan. “Yang perlu kamu tahu, di hari itu bukan hanya kamu yang terluka. Bukan hanya kita yang terluka, tapi David dan Bunda. Mereka juga terluka, Wa.” Lelaki itu berjalan ke arah Dewa, dan menepuk pelan bahu sang adik. “Kali ini saja, datang ke rumah Bunda. Dia juga pasti merindukan kamu.”

Dewa mengepalkan kedua tangannya erat. Tanpa suara, dia membalikkan badan dan berjalan keluar rumah. Mengabaikan teriakan sang mama yang memanggilnya.

Di sinilah Dewa berada sekarang. Berdiam diri di dalam mobil yang terparkir di depan rumah Gladis. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan saat ini. Tapi, sejak dulu, di saat keluarganya membahas masalahnya dengan David. Gladisa adalah pelariannya.

Tidak. Dia tidak bercerita kepada gadis itu. Dewa hanya menghabiskan waktu dengan gadis itu dan keluarganya, lalu dia merasa masalahnya menghilang. Sesederhana itu.

Dewa tersenyum miris, masalahnya sekarang gadis itu bukan lagi miliknya. Masalahnya dia sudah telanjur mematahkan hati gadis itu. Lalu, masih pantaskah dia untuk mengharap gadis itu kembali?

Dewa keluar dari mobilnya, berjalan ke arah rumah gadis itu, lalu mengetuknya pelan. Sepi.

“Kayaknya lagi nggak ada orang,” gumamnya sambil meraih ponsel dari saku celananya, berusaha menghubungi gadis itu.

Namun, belum sempat dia menelepon gadis itu, sebuah motor yang berhenti di depan mobilnya, membuat Dewa kembali mengantongi ponselnya. Dia berjalan mendekat.

Pengendara motor itu adalah David, bersama dengan Gladis. Sial. Suasana hatinya sedang tidak baik. Melihat keduanya pulang bersama, membuat suasana hatinya semakin memburuk.

“Kak Dewa? Ngapain di sini?” tanya Gladis sambil melepas helm yang dia kenakan.

Dewa diam, tapi pandangannya terus mengarah kepada David yang juga tengah menatapnya. Lelaki itu beralih kepada Gladis, sambil mencoba memaksakan senyuman tipis.

“Aku mau ketemu kamu. Tapi, kayaknya kamu sibuk.” Dia kembali memandang ke arah David. “Aku pulang aja,” katanya, lalu tanpa menunggu jawaban dari Gladis, Dewa berjalan ke arah mobilnya, dan segera mengemudikannya meninggalkan rumah Gladis.

RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang