Bab 24 || Sepatah Kata

2.6K 378 52
                                    

Pada fajar yang terbit di langit Jakarta, harapan kerapkali hadir bersama ijabah yang tak senada.

Jarum jam tepat menunjuk pukul 06.00, para santri barangkali masih berada di kelas-kelas. Albania yang baru saja turun dari travel langsung menuju asrama untuk menemui teman-temannya. Seraya membawa bakpia khas Jogja, ia melangkah pasti sembari memamerkan senyum di sepanjang asrama. Bagaimana pun situasinya, dia harus mampu menyimpan kesedihan kemarin. Ia harus bangkit. Ia tahu Allah bersama hamba-hamba-Nya yang terluka. Semua yang fana pasti akan sirna.

Anak Ulya di kamarnya barangkali sudah pulang dari kelas-kelas. Pasalnya hari ini jadwal setoran Alfiyah dan sejak dua hari lalu, ustazah sedang izin pulang kampung. Entah bila ada pengganti.

"Assalamualaikum," ucap Albania ketika melangkahkan kaki ke dalam kamar.

"Waalaikumussalam," sahut para santri putri dari dalam.

"Wih, artis dateng!" ucap salah satu dari mereka.

"Bawa oleh-oleh apa, Na?"

"Bawa makanan pasti."

"Aku bawa Bakpia, Nih." Albania meletakkan totebag berisi tiga kotak bakpia pada teman-teman kamarnya yang berisi lima belas orang. Mereka langsung membuat lingkaran dan makan bersama kemudian.

"Eh, Gus Nabil ikutan balik lagi ke sini nggak?" tanya Nisa sembari mengunyah bakpia-nya.

Albania yang baru saja duduk di depan lemari hendak membuka pintu, menoleh. Dia mengangguk cepat. "Kebetulan, Ning Ayas udah libur sejak dua hari yang lalu jadi mereka berdua balik ke sini."

"Wah, Ning Ayas udah datang ternyata."

Albania membuka pintu lemari. Ia memasukkan box yang masih berisi banyak susu di rak paling bawah. Beberapa baju kotor yang tadi dibingkus dalam plastik akan dipindah ke ember setelah nanti mendapat semangat untuk mencuci.

"Eh cerita dong, Na, di sana gimana?"

"Wuh seru banget dong. Di sana bertepatan sama Pensi jadi kita lihat pensi dulu. Pokoknya seru. Dan asal kalian tahu, Gus Nabil sama istrinya duet bareng di atas panggung."

"Hah? Yakin? Astaga. Pengen lihat juga."

"Banyak loh asatiz dan ustazah yang videoin. Ntar juga kesebar. Atau nanti lihat di channel pesantrennya aja. Barangkali aja ada yang upload."

"Astaga emang kita bawa hp."

"Ya kan nanti bisa numpang sama ustazah sini."

Setelah sedikit cerita-cerita perihal Nadwatul Ummah dan segala apa yang dilakukan selama di Jogja, gadis itu membawa totebag berbahan katun yang berisi beberapa makanan yang ia bawa dari Jogja. Gadis itu keluar kamar, memakai sandal lantas berjalan menuju keluar asrama.

Entah sudah beberapa hari ia tak mengunjungi kediaman sang ibu. Ia rindu dengan senyum kakek dan kesabaran sang nenek. Rindu cerita-cerita mereka dan tawa bersama keluarga kecil itu. Karena hari ini ia tak memiliki kegiatan berarti karena dipinta istirahat oleh Gus Ismail dan Umi Hanin, maka lebih baik ia gunakan waktu istirahatnya untuk mendatangi rumah ibu.

Gadis itu berhenti di depan pos asrama pesantren ketika melihat dua santri putra yang sedang menjaga di sana. Sebenarnya ia ingin lewat jalur belakang saja, tetapi tidak mungkin. Ketika pagi begini jalur belakang asrama sudah tak aman.

"Kak, saya boleh izin keluar sebentar?" tanya Albania pada santri putra itu.

"Izin sama keamanan putri, Kak. Setelah bawa surat izinnya baru akan kami perbolehkan keluar," jawab salah satu dari mereka.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang