Bab 14 || Menjadi Manusia

2.9K 378 40
                                    

Waktu itu fana. Yang abadi adalah cinta.


Asrama terlihat sepi karena semua santri tengah sibuk melakukan KBM di kelas. Masa-masa sekolah memang kerapkali menjadi hal yang sangat dirindukan, terlebih Albania yang pernah menghabiskan beberapa tahun sekolahnya di negeri seribu menara. Bertemu para Masyaikh setiap hari rasanya memang telah menjadi nikmat Tuhan yang sedikit pun tak akan pernah terdustakan. Betapa dari bibir-bibir mereka tak mengeluarkan kalimat apa pun kecuali ajaran cinta.

Namun, seperti fiil madhi. Telah menjadi hal yang berlalu. Kenangan bersifat lampau. Bukan amr atau pun mudhori. Sesuatu yang yang telah lalu kerapkali hanya menjadi awan yang tak dapat digenggam, menjadi kabut yang tak dapat disentuh dan menjadi bayang-bayang yang kerap tak ditemukan rumus untuk melupakan. Masa lalu memang seegois itu.

Kini, Albania hanya mencoba tak banyak mengingat tentang banyak keperihan. Semua derita-derita yang dilalui barangkali memang paket lengkap dari semesta yang tak bisa lepas dari jiwanya. Begitulah kata Rumi. Derita akan selalu menghampiri.

"Na, sambal keringnya kamu bawa, kan?" tanya Nisa.

"Iya dong. Tujuan ke dapur, kan, nge-mie pakai sambel. Eh tapi kalau ada cabai, ntar pakai cabai aja, ya," sahut Albania sembari membawa keresek hitam berisi dua mie instan rebus.

Melalui gerbang perbatasan antara putra dan putri yang setiap waktu sekolah dibuka, Albania dan Nisa berjalan menuju dapur yang berada di sudut asrama putra. Gerbang perbatasan asrama Umar Bin Khattab hanya dibuka di jam-jam sekolah guna memudahkan santri tingkat pengabdian yang memiliki perlu ke dapur. Biasanya para santri putri memasak mie di sana atau sekadar mengambil air panas untuk membuat kopi atau susu. Tentu, kendati telah berada di tingkat mengabdi, mereka masih harus menjalankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pesantren.

Tak ada pertemuan, tak ada komunikasi tak penting, tak ada tukar surat di antara mereka mesti memang tak sengaja bertemu di dapur. Benar, mengabdi hanyalah simbol. Lebih dari itu mereka masih menjadi santri yang harus taat pada peraturan dan tata tertib.

Sekitar lima menit kemudian, mereka sudah hampir sampai di bangunan dapur. Di depannya terdapat beberapa tempat duduk yang sering dipakai para asatiz ngopi santai sembari melihat para santri putra futsal di lapangan yang berada tepat sekitar 11 meter dari dapur. Dan sekarang para santri putra—Asyas dan teman-temannya pun tengah bermain di sana. Mereka kompak menggunakan sarung dan kaus pendek. Sepertinya sarung memang sudah tak bisa dipisahkan dengan hari-harinya. Sepertinya Nusantara telah melekat pada jiwa-jiwa para santri Umar Bin Khattab.

"Santri putri, woi!" seru salah seorang santri.

"Fokus, woi, fokus! Kiper jaga pandangan," sahut yang lain.

"Jilbab... jilbab... hijau, lambang kita jadian...." Salah seorang santri terdengar menyanyikan lagu yang sengaja diubah liriknya untuk menggoda Albania atau Nisa yang memang tengah memakai jilbab dengan warna yang sama.

"Apaan sih, mereka itu ramai aja kalau ada cewek," desis Nisa.

"Namanya juga Adam."

"Gus Adam itu adiknya Gus Ismail, loh."

"Maksudku beda Adam," ralat Albania.

Nisa terkikik. Teman di sampingnya itu bila berbicara memang sering sekali asal. Untung saja masih bisa menempatkan bagaimana harus berkata dan bersikap.

Sekilas, Albania memandang seorang laki-laki bersarung hitam bergaris putih yang tengah mengoper bola ke depan, berusaha menghindari serangan-serangan dari sekitar. Kulitnya yang sangat putih itu terlihat sedikit memerah saat terkena panas. Matanya yang sipit, bahkan hanya terlihat segaris saja bila dari kejauhan.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon