Bab 21 || Sebuah Jawaban

2.5K 376 37
                                    

Suatu hari, hatimu akan membawamu pada orang yang kau cintai. Suatu hari, jiwamu akan membawamu pada kekasih.

—Jalaluddin Rumi

Di sepanjang jalan menuju kantor, Asyas tampak membawa se-box susu kotak rasa vanila. Dia tak pernah mengingkari janjinya untuk memberikan Albania kemauannya demi membuka mulutnya yang kerapkali terkunci untuk sesuatu hal yang rahasia.

"Kang," panggil Asyas pada salah satu santri yang tengah berdiri di depan komplek pusat An-Nadwah.

"Nggeh, Cak?"

"Bagian keamanan siapa, ya? Bisa nemenin saya ke kantor?"

"Saya salah satu bagian keamanan di komplek tiga, kalau mau ayo saya temenin njenengan."

"Terima kasih."

Asyas berjalan di samping santri itu, lalu tak lama kemudian dia mendekat ke arah gadis yang tengah duduk di belakang pos pesantren. Dari jarak beberapa meter, santri itu duduk di depan kantor yang kemudian disusul oleh temannya sedangkan Asyas berjalan mendekati Albania.

"Ini susu buat lo." Asyas meletakkan satu dus susu kotak di samping gadis itu.

Albania terbelalak. "Banyak banget, padahal aku cuma bercanda," katanya.

"Nggak usah pura-pura. Cepet ngomong!" pinta Asyas yang kemudian duduk satu meter di sebelah perempuan itu.

Sebelum berbicara, Albania membuka dus tersebut lalu mengambilnya satu. Ia tancapkan sedotan ke lubang lalu mulai menyedotnya perlahan. Ah, susu rasa vanila memang selalu membuat ketagihan dan Asyas membawa banyak untuknya. Kali ini ia akan coba bercerita, mengulang pahit masa lalu yang tak kunjung pergi.

"Pertama kali bertemu Kafa, saat dia berlibur di Mesir. Saat itu aku kelas dua i'dady dan dia kelas dua tsanawiyah. Note book-ku jatuh di sekitaran Pyramid, lalu dia mengembalikan buku itu ke syaqoh-ku yang terdapat di sampul buku. Setelah itu kami mulai berteman." Albania masih mengingat dengan detail pertemuan demi pertemuan yang manis itu. Bahkan bila disuruh menjelaskan apa yang pertama Kafa katakan, warna baju Kafa, jam berapa, tentu ia masih mengingatnya.

"Sejak pertemuan pertama dia selalu menemuiku saat pesantrennya sedang libur. Setiap dua kali dalam setahun, kami selalu bertukar cerita karena aku dan Kafa tak pernah bertukar pesan sekalipun nomor masing-masing telah tersimpan.

"Tepat pada pertemuan ke tujuh, dia berjanji akan menikahiku. Tapi nahasnya di pertemuan ke delapan aku menghancurkan harapannya yang sesungguhnya adalah harapan terbesarku. Kami bertemu di Yaman. Bertemu untuk berpisah kemudian." Perih. Ada rasa sesak yang menghampiri dada Albania saat dia harus mengingat perpisahan dua tahun lalu. Ingin rasanya berteriak agar semesta memberi sedikit saja rasa lega yang mendamaikan jiwa. Namun nahas, semua tak bisa dikembalikan. Semua telah pergi.

"Aku akan menikah dengan seseorang pilihanku." Kebohongan itulah yang diucapkan Albania untuk mematahkan perasaan yang amat disayangnya. Satu-satunya lelaki yang dipercaya. Begitulah cara dia berterima kasih pada seseorang yang memberinya ketenangan.

"Yang Kafa tahu, aku tak pernah mencintainya. Tetapi nyatanya dia tak tahu bahwa rasa yang kumiliki lebih dalam, lebih rahasia dan lebih besar dari miliknya.

"Tetapi nahas semua sudah berakhir," tandas Albania.

Sebenarnya, masih ada banyak yang belum diceritakan tetapi biarlah begitu. Ia akan menyimpannya sendirian. Ia mengandalkan Tuhan tuk menghapus sebagian ingatan di masa lalu, tetapi ia juga tak mau bila kenangan itu hilang begitu saja.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Where stories live. Discover now