Bab 36 || Mencari Tujuan

2.7K 424 138
                                    

Bila kau tak mengerti hendak pergi ke mana, maka berbeloklah ke arahku.

—Unknown

Pada senja yang hampir pergi, Albania masih menatap cahaya jingga hingga nanti akan benar-benar tenggelam menyisakan malam yang kemudian menyelimuti. Dia meletakkan kedua tangannya di atas lutut yang tertekuk. Di sebelahnya, buku milik Quraish Shihab belum benar-benar selesai dibaca. Ia kehilangan fokus sejak Asyas melaksankan tantangan di depan kelas, kemudian memikirkan bagaimana perasaan Madinah hari ini lalu dilanjut pilihan sulit untuk mengikuti tes ke negeri impian atau menata mimpi di sini saja.

Mimpi? Bahkan sebenarnya dalam lubuk paling dalam ia masih memiliki keinginan, tetapi bukankah segala hal mengikuti kehendak dan ia tak akan pernah mampu berjalan bila Tuhan tak pernah mengizinkan.

Di negeri ujung sana, ia tahu berapa biaya yang mesti dikeluarkan. Lalu apakah hingga masa wisuda dirinya benar-benar bergantung pada pesantren? Albania menggeleng pelan. Ia tahu Allah selalu memudahkan, hanya saja Albania sendirilah yang mempersulit dan barangkali ia akan membuat keputusan dengan membiarkan kesempatan itu kembali pergi. Dia akan mencari tempat lain, di mana ia tak akan pernah membebani siapa pun, termasuk ibunya.

Kali ini senja benar-benar pergi. Jingga tak bersisa sama sekali kecuali kesedihan yang Albania miliki. Dia telah terkurung dalam jeruji sunyi yang membekukan sepi.

Gadis itu menghela napas panjang. Karena sedang halangan, ia tak perlu repot-repot ke masjid saat azan magrib telah berkumandang lantang. Asrama barangkali sudah sepi karena santri diwajibkan untuk sampai ke masjid tepat sepuluh menit sebelum seruan dikumandangkan.

Perlahan, Albania mengambil buku miliknya. Dia bangkit untuk mengikuti salawatan nariyah di kamar atas. Karena bagi santri putri yang sedang tidak salat, maka setiap magrib harus berkumpul di salah satu kamar untuk mengumandangkan beberapa kali salawatan lalu kembali pada kegiatan semula hingga selesai jamaah isya.

Malam nanti jadwalnya mengaji fathul Jawad bersama santri Ulya di gedung belakang dan sejujurnya ia sungkan tuk sekadar menghadiri karena nanti akan bertemu dengan angkatan Perfecta yang mengaji di gedung sebelahnya. Benar-benar membosankan.

🍁🍁

"Na, abis ngaji temenin aku ke dapur, ya, ambil air panas buat ngopi nanti malam. Aku belum ngerjain ushul fiqh buat besok," ajak Nisa sembari mengambil termos kecil dari dalam lemari.

Albania yang sedang mengambil kitab Fathul Jawad menoleh, "Sip okey asal ada ongkos jalan." Dia tertawa kecil.

"Ongkosnya susu kotak ntar aku minta ke Asyas."

"Halah, jangan. Berat... berat."

Keduanya lalu berjalan keluar kamar manuju kelas belakang untuk mengikuti ngaji malam. Barangkali ngaji Fathul Jawad nanti akan selesai sampai pukul 22.00 atau bisa lebih dari itu. Namun, asal mendapat berkah guru sampai jam berapa pun tak akan pernah keberatan. Katanya Gus Ismail yang pernah disampaikan pada seluruh santri ketika selesai ngaji bersama yang diadakan setiap hari sabtu sore, ngajilah dan belajarlah dengan banyak membaca hingga mereka tak bisa bertindak dan berkata tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan.

Bahkan untuk ngaji sendiri, pesantren Umar Bin Khattab sangat menomor satukan sanad. Para kyai, ustaz, asatiz maupun kang di sini telah dijamin sanadnya oleh karena itu penjelasan dari setiap penjelasan selalu memiliki dasar. Lembut ketika diminta menyampaikan nasihat. Karena kekerasan sendiri bukan bagian dari Islam. Allah yang maha lembut menyukai kelembutan. Bahkan Ulama kharismatik, KH Maimoen Zubair pernah dawuh, "Sanad keilmuan itu penting. Karena itu pokok dan menjadi syarat bahwa ilmu itu benar-benar berasal dari Rasulullah, sang sumber ilmu."

[4] Utawi Iki Iku (Completed)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن