Bab 20 || Bertemu Untuk Berpisah

2.6K 373 37
                                    

Adakah yang lebih syahdu dari kegiatan beribadah mengingatmu yang berakhir rindu?


Kerapkali bertanya bagaimana cara menghilangkan rindu, bahkan ketika berdekatakan ia kerapkali enggan pergi. Begitu barangkali yang dirasakan Albania dalam setiap hari yang dilalui dan pada setiap jam yang dirasakan.

Dan sekarang gadis itu tengah berdiri di depan kamar tamu memikirkan rindu yang tak pernah usai meski telah direlai.

Napasnya terembus lembut, menatap kosong asrama depan. Bahkan sebenarnya Umi Hanin tak perlu teman, karena buktinya sekarang ia dan Madinah ditinggal di kamar dan tidak memiliki kegiatan apa pun kecuali berdiam di ruang yang tak terlalu luas ini. Gadis itu memakai sandal. Langkahnya kemudian terayun entah menuju ke mana. Barangkali ia akan menikmati udara pagi yang menyehatkan.

Kelas-kelas terisi penuh oleh para santri. Kamar-kamar kosong, sebagian dari mereka mengikuti Bahtsul Masail sedang sebagian lain tetap menjalankan madrasahnya seperti biasa.

Albania berjalan menuju asrama belakang. Ia tak benar-benar mengerti Nadwatul Ummah. Bahkan barangkali ia bisa saja nyasar ketika benar-benar sudah berjalan jauh. Ingin mengajak Madinah, tetapi gadis itu tengah membaca buku dan sepertinya enggan diganggu.

Sekitar satu jam lagi, barangkali Bahtsul Masail akan berakhir dan selama 60 menit ke depan, dia harus kembali ke kamar. Mengunci diri dari kenangan.

Sesaat, pandangan miliknya jatuh pada pohon mangga yang berderet di belakang asrama. Buahnya lebat tetapi sepertinya belum benar-benar matang. Albania menatap buah berkulit hijau itu, lalu mengambilnya kemudian. Untung saja buahnya tak terlalu tinggi sehingga mudah digapai oleh tangannya.

Selepas mendapat mangga, ia kembali ke kamar untuk menikmatinya di sana. Ah, ia ingin segera pulang dan kembali ngaji kitab. Mendengar untaian kata-kata lembut dari para asatiz, lebih syahdu daripada menjadi pengangguran seperti ini.

"Kamu abis dari mana, Na?" tanya Madinah.

"Nyolong mangga," sahut Albania sembari menggigit kulit mangga dan duduk di depan Madinah kemudian.

"Izin dulu, Na, ntar makanan haram yang masuk ke dalam perut itu—"

"Aku tahu. Nanti izin sama Gus Nabil."

"Tapi, kan, ini bukan pesantrennya Gus Nabil."

"Ribet maen sama kamu," celetuk Albania sembari terus menggerogoti buah miliknya. Lantas ia tak memedulikan lagi bagaimana reaksi wajah Madinah. Entahlah, Albania kerapkali paling risih bila dinasihati tentang sesuatu yang ia telah pahami. Lain lagi misal yang menasihati seseorang yang lebih alim darinya. Ah, bukankah Madinah lebih lembut sifatnya dan lebih manis tutur katanya daripada dia yang allahu a'lam?

🍁🍁

Usai melaksanakan empat rakaat ashar di kamar, Albania dan Madinah diberi nasi kotak oleh Umi Hanin.

"Nanti nggak langsung pulang, ya," ucap Umi Hanin ketika menemui Albania dan Madinah di kamar.

"Nanti malam di sini ada Pensi. Ntar kalian lihat dulu. Hilmi sama temen-temennya itu semangat banget kalau lihat beginian," lanjutnya.

"Asyas juga semangat, Umi?" tanya Albania.

"Asyas mah pasrah aja. Diajak langsung pulang ya manut, disuruh nonton dulu juga manut." Umi Hanin terkikik geli.

Madinah terlihat hanya tersenyum.

"Ya sudah cepet dimakan, ntar terserah kalian mau ke mana. Jalan-jalan keliling asrama juga nggak apa minta anter santri Nadwah." Umi Hanin berdiri.

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Where stories live. Discover now