Bab 03 || Ritme Kesulitan

4.3K 450 26
                                    

Sebaik-baik tujuan adalah tujuan untuk selalu mencintai-Nya, sebaik-baik lafal adalah menyebut asma-Nya dan sebaik-baik waktu adalah di mana saat hati merindu-Nya.

Dalam kitab Mukasyafatul Qulub, dituturkan dari Imam Ghazali. Nasihat Nabi Adam kepada Syits AS—putranya, "Apabila hatimu tergoncang (ragu, sempit) dalam menghadapi sesuatu, maka jauhilah. Karena ketika aku makan buah terlarang hatiku tergoncang, tetapi aku tidak memedulikan, akhirnya penyesalan menimpa diriku."

Embusan napas keras terdengar dari remaja yang sedang kembali memaknai kitab kuningnya yang beberapa lembar terlihat kosong dari makna. Terlebih beberapa catatan di kitabnya sangat tepat dengan keadaan dirinya saat ini. Mungkinkah ia mampu menjauhi hal yang membuatnya ragu akhir-akhir ini.

Angin lembut sepertiga malam berlambai sejuk, menelusuk di antara helai rambut hitam laki-laki bermata sipit itu. Semasa menjadi santri, Asyas memang sering lebih memilih tidur di balik tumpukkan kasur atau perpustakaan pondok daripada mengikuti ngaji siang hari, tetapi entah bagaimana ceritanya ia selalu berhasil menyabet juara umum di pesantrennya.

Asyas yang memiliki insomnia itu, menurut Hilmi yang pernah menyaksikan sering menghabiskan malamnya dengan banyak belajar dan menghafal. Dan malam ini pun dia melakukannya lagi, lagi dan lagi.

Kejadian demi kejadian yang menimpa seolah menjadi pendukung kesulitan tidurnya. Bahkan saat ini sepertinya teman-teman di kamar masih pulas, sedang ia tengah berkutat dengan semesta mempertanyakan banyak hal tentang ketidaktahuan masa yang akan datang.

Asap yang berasal dari cokelat panas yang berada di cangkir sebelahnya masih terkepul mencipta kehangatan. Laki-laki bersarung moka itu meletakkan kitabnya di atas meja kecil, lalu mengambil alih sendok, mengaduk minumannya.

"Al!" Sayup-sayup suara memanggil namanya.

Laki-laki berkaus putih itu menghentikan kegiatannya, menyapukan pandangan, mencari sumber suara.

"Asyas! Aku di sini. Ke sini sebentar." Seseorang memukulkan gembok pada gerbang menciptakan denting yang lumayan berisik.

Asyas menyipitkan matanya. Ia bangkit berjalan menuju gerbang tuk memastikan seseorang di sana. Malam-malam seperti ini siapa yang berani bertamu ke rumah? Keluarga dari pasien yang ditangani oleh ayahnya, kah? Tetapi itu hanya dugaan tak penting.

"Kamu lagi?" Asyas setengah terkejut mendapati Albania di depan rumah. Di depan rumah? Ya, bahkan pertemuan itu berlanjut hingga sekarang.

"Asyas, laki-laki itu akan datang subuh nanti untuk membicarakan tanggal pernikahan," ucap Albania dengan napas yang masih tersengal-sengal. Kedua tangannya menggenggam erat sela-sela gerbang yang masih tertutup rapat, enggan Asyas buka.

"Terus?"

"Asyas, tolong aku. Aku harus bagaimana?"

"Terserah."

"Kamu tega lihat aku menikah dengan paksaan? Dengan laki-laki yang tidak kucintai?"

"Ya."

"Astaga, Asyas tolong aku. Kamu datang ke rumah bilang pada ibu bahwa kau akan menikahiku setelah itu kamu boleh pergi dan mungkin aku pun akan pergi."

Asyas menatap perempuan itu tajam. "Dengarkan. Pertama, saya tidak kenal kamu. Kedua, kamu minta bantuan pada orang yang salah. Ketiga, tolong pergi dan jangan pernah ganggu saya lagi." Asyas berbalik, menjauhkan langkahnya dari gerbang, meninggalkan Albania.

"Kamu jahat, Yas. Nggak seharusnya kamu pergi begitu saja!" teriak Albania.

Asyas menghentian langkah. Kata-kata itu ...

[4] Utawi Iki Iku (Completed)Where stories live. Discover now