ALVASKA 14 [DEV2]

383K 49.1K 15.6K
                                    

"Jika tidak benar, jangan lakukan itu; jika itu tidak benar, jangan katakan itu."

"Biar Kana yang ngobatin luka Alva," ucap Alvaska sembari menoleh ke arah Kana yang kini tengah menatapnya tajam.

Zila mengangguk paham. "Yaudah, mamah balik ke kamar aja kalau gitu." Zila beralih menatap Kana. "Kana, tolong obatin lukanya Alva ya."

"Hm," Kana bergumam, masih menatap Alvaska tajam. Jika saja Zila tidak ada di sana, sudah dapat di pastikan jika Kana sudah membanting tubuh Alvaska begitu kuat hingga membuat tulang punggung cowok itu retak. Biarkan saja. Lagipula, sudah lama juga Kana tidak pernah membanting orang.

Zila tersenyum sembari mengelus lembut surai Alvaska penuh sayang. Setelah itu, Zila mulai melangkah pergi meninggalkan Kana berdua dengan Alvaska di ruang tamu rumah.

"Maksud lo apa? Lo sengaja kan nyuruh-nyuruh gu-"

Alvaska membekap mulut Kana dengan tangan kanannya agar cewek di sebelahnya kini berhenti bicara. "Bawel."

Kana menepis tangan Alvaska yang membekap mulutnya kasar. "Gue banting lo!"

"Gue cium lo," balas Alvaska. Cowok itu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa sembari menaikan salah satu alisnya menatap Kana yang terlihat salah tingkah. "Kenapa lo? Salting?"

Kana menggigit bibir dalamnya sembari menggelengkan kepalanya samar. "N-ggak kok. Siapa juga yang salt-"

"Alva!"

Teriakan seseorang dari arah pintu masuk ruangan memotong ucapan Kana. Alvaska dan Kana sontak menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Queenza sedang berlari ke arah mereka.

"Ya ampun Alva, tangan kamu kenapa? Kenapa bisa luka kayak gitu sih?" Queenza dengan cepat mengambil tempat duduk di tengah-tengah Alvaska dan Kana. Cewek itu terlihat begitu khawatir saat tadi melihat lengan Alvaska terluka.

Kana menggeser tubuhnya ketika Queenza duduk di tengah-tengah dia dan Alvaska.

"Jatuh," jawab Alvaska menjawab pertanyaan Queenza. Cowok itu membiarkan Queenza mengobati lukanya. Tatapan Alvaska beralih pada Kana yang terlihat tengah memainkan jari-jarinya sembari mengigit bibir bawahnya kesal. "Lo pulang aja."

Kana menoleh menatap Alvaska sembari menaikkan salah satu alisnya bingung. Jadi cowok itu mengusirnya?

"Okay."

Hening beberapa detik.

"Kenapa belum pergi?" Tanya Alvaska saat Kana belum juga bergeming dari tempat duduknya.

"Gue cuman mau bilang, tau nggak? Hati gue sakit saat lo nyuruh gue pergi dan ninggalin lo berdua bareng cewek lain."

Alvaska tercekat.

Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, Kana dengan cepat bangkit dari duduknya--berlari keluar dari rumah Alvaska dengan perasaan yang sulit untuk di jelaskan, meninggalkan Alvaska dan Queenza berdua di ruang tamu rumah.

Kana berhenti melangkah ketika sudah sampai di depan pagar rumah orang tuanya. Cewek itu menyandarkan tubuhnya di tembok samping pagar sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya kesal. "Arrgh! Gue kenapa sih?!"

Entah kenapa, Kana merasa tidak suka ketika Alvaska dekat dengan Queenza.

Di sisi lain, Alzaska yang baru saja turun dari lantai atas seketika menolehkan tatapannya ke arah Alvaska dan Queenza yang berada di ruang tamu rumah. Pintu ruangan itu terbuka lebar sehingga membuat Alzaska bisa dengan jelas melihat keduanya.

Cowok itu tersenyum miris. "Queenza aja bisa dekat sama lo. Kenapa gue nggak?"

Di lubuk hati terdalam seorang Alzaska Aldebra Lergan, dia ingin sekali dekat dengan Alvaska, saudara kembarnya. Dia ingin di perhatikan layaknya seorang adik oleh kakaknya. Dia.. ingin Alvaska menganggapnya sebagai saudara.

"Peluk gue meskipun lo terpaksa ngelakuin itu." Alzaska bergumam parau.

--Alvaska--

Sore ini, Kana memutuskan untuk pergi ke makam Devan di temani oleh Gara, sahabatnya sekaligus sahabat dari Devan. Kedua remaja itu berhenti di sebuah hutan pohon pinus. Udaranya sangat sejuk, pepohonan besar nan tinggi ada di sekelilingnya. Kana dan Gara berjalan menuju pagar hitam, lalu membukanya perlahan. Gara menarik tangan Kana menuju pemakaman Devan. Kedua remaja itu duduk berjongkok di hadapan makam Devano Alexa.

Kana mengusap lembut batu nisan bertuliskan nama tunangannya, Devan. "Gue kangen Dev."

Gara memejamkan mata menahan sesak yang tiba-tiba saja menyerang dadanya. Cowok itu merindukan Devan.

"Gara kangen sama Devan. Gara juga kangen ketika Devan marahin Gara, gara-gara Gara jahilin Devan waktu kita bakar-bakaran di rumah Kana. Gara juga kangen ketika Devan pukul Gara, gara-gara Gara pukulin Kana," ucap Gara sembari menunduk dalam. Begitu banyak kenangan yang sudah di lalui Gara bersama Devan.

Ketika kecil, Devan seringkali melindungi Gara dan Kana dari gangguan anak nakal di sekolahnya. Bahkan ketika Gara dan Kana mendapatkan pembullyan di sekolah, Devan lah yang selalu berada di garis depan untuk melindungi keduanya.

Devan merupakan sosok sahabat sejati yang dimiliki Gara dan Kana. Bahkan ketika Devan meninggal, cowok itu meninggal di pelukan mereka. Pelukan terakhir yang mereka lakukan sebagai sahabat. Mengingat hal itu membuat hati Gara dan Kana terasa begitu sakit.

"Gue nggak tau harus ngomong apa lagi Dev. Hati gue sakit. Dada gue sesak setiap kali inget lo." Kana terkekeh miris. "Lo inget nggak waktu gue hampir mati ke tabrak mobil di acara pensi dua tahun lalu? Kalo nggak ada lo, mungkin sekarang kita udah satu dunia, Dev."

Kana masih sangat jelas mengingat kejadian di mana dirinya hampir kehilangan nyawa jika saja Devan terlambat satu detik mendorongnya ke arah trotoar jalan.

Kana yang saat itu tengah menyeberang jalan tidak menyadari jika sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kiri. Devan yang saat itu baru saja keluar dari gerbang sekolah Alexa masih mengenakan seragam basket dengan nomor punggung 15 dengan cepat berlari ke arah Kana dan langsung mendorong tubuh gadisnya ke trotoar jalan, menyebabkan tubuhnya tertabrak dan terpental beberapa meter ke tengah jalan.

Kana mencium batu nisan berwarna abu-abu milik orang yang begitu berarti dalam hidupnya, Devano Alexa. "I love you.. baby Dev."

'I love you to, baby Ra.'

--To be continue..

Hantu👻

Hantu~

Hantu?

Hantu~

856 word. Secuil jejak anda, means a lot_

ALVASKA Where stories live. Discover now