Para penumpang mulai mengucapkan doa menurut kepercayaan masing-masing. Begitu juga denganku dan Jehan. Lean memandang Jehan yang terlihat mulai menangis ketakutan, dan berusaha menenangkannya.

Pesawat tak terkendali, berputar-putar secara acak di udara. Pintu tiba-tiba terbuka dan kaca mulai pecah.

Lean dan Jehan yang memang duduk tak jauh dari pintu terseret angin karena mereka tak memasang sabuknya.

Orang-orang yang berada di pesawat berteriak histeris. Ingin menolong namun masih ingin menyelamatkan nyawa mereka.

Tubuh Jehan dan Lean terjebak di udara, namun Lean tetap memeluk wanitanya. Tak memperdulikan maut yang akan menjemput mereka.

Jehan mulai merasakan napasnya sesak, Lean masih setia memeluknya dan senyuman itu masih bertahan di wajahnya. Senyuman terakhir untuknya.

Lean pun tak bisa menutupi rasa paniknya. Hingga daratan semakin terlihat. Lean tak tahu harus berkata apa.

Brakk!

Tubuh Lean terjatuh menimbulkan suara keras. Tubuh mereka terputar-putar membuat kepala keduanya terasa pusing.

Dug!

Putaran itu terhenti karena badan Lean menubruk batu besar. Saat itu juga keduanya terasa remuk, Jehan berada di atasnya. Pria itu melindunginya di saat terakhirnya. Sedari tadi Jehan menangis, Lean mulai kehilangan kesadarannya karena darah yang bercucuran di belakang kepalanya yang tertusuk ranting kayu.

Hingga suara ledakan pesawat yang tak jauh dari mereka terdengar begitu memilukan bagi Jehan.

"Jehan!"

Jehan tersentak dan tersadar. Sedetik kemudian Jehan memeluk Fasya secara tina-tiba yang membuat pria itu terkejut. Fasya merasakan getaran dari tubuh Jehan dan pundaknya terasa basah. Wanita itu menangis.

Fasya membalas pelukan itu dengan erat dan mengelus puncak kepala Jehan hingga ujung rambutnya yang tergerai.

"Tinggal beberapa langkah lagi kau akan berhasil bangkit dari masa lalumu, Je." Fasya melepaskan pelukannya dan menghapus sisa air mata Jehan di pipinya.

"Mana semangatnya? Ada pria tampan yang membantumu." Davina tersenyum lebar berusaha menghangatkan hati wanita di depannya.

"Pria bajingan, Dav," Bukannya marah, Fasya justru tersenyum mendengar suara dingin wanitanya. Itu lebih baik daripada melihatnya bercucuran air mata.

"Dan bajingan ini yang kau peluk tadi," Ejek Fasya dan mengerlingkan sebelah matanya genit.

Davina memutar bola matanya malas. "Bisa kalian hentikan itu, teman-teman?"

"Ekhem," Jehan berdehem untuk sekedar menghilangkan rona merah di pipinya sedangkan Fasya berdecak malas karena adegannya diganggu oleh Davina, lagi.

"Allisya terlibat kecelakaan pesawat itu?" Tanya Jehan.

"Kau sepertinya tau segalanya, huh," Ucap Fasya.

"Itu karena Alexia menceritakannya padaku," Jawab Davina yang membuat Fasya dan Jehan kaget.

"Alexia? Bukankah dia ikut tewas di pesawat itu?" Tanya Jehan heran.

"Dan Allisya mengoperasi mukanya untuk meniru orang yang sudah mati?!" Fasya menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Ya, sebelum pesawat itu kehilangan kendali. Alexia, teman kampusku, aku sempat menelfonnya. Karena tujuan kita waktu itu memang untuk melaksanakan reuni." Fasya dan Jehan mengangguk-ngangguk mengerti.

LuchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang