27

254 15 0
                                    

Sebelum membaca ada baiknya kita memvote part ini dahulu. Vote dimulai:"

Enjoy the reading! Aku harap kalian suka❤.

****

Yang menyakitkan itu bukanlah perpisahan tapi mengingat dari setiap kenangan yang pernah tercipta sebagai cerita.

-Jehan Carlyle Tegan-

----

"Jadi selama ini, dia jatuh sendiri? Aku tak pernah ada untuk membantunya berdiri." Jehan mendongakkan kepalanya hanya untuk menahan cairan bening yang ingin keluar. Wanita itu mengusap hidungnya yang memerah.

Bohong jika Jehan mengatakan hatinya tak perih, namun hanya kepasrahan yang mengiringinya. Jehan pasrah dengan keadaan. Jehan memasrahkan semuanya pada Tuhan. Sekali lagi, Jehan berusaha menguatkan hatinya dan percaya skenario Tuhan dan kejutan indahnya.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kalau kau tahu keadaannya kau pasti membantunya, kan?" Davina memijat pelipisnya untuk menghilangkan sedikit rasa pusingnya.

"Beruntungnya saat itu peluru tak melukai jantungnya. Aku kira, Allisya dan Rei sudah berhenti bertindak, karena mereka tak pernah terlihat. Ternyata, mereka menyusun rencana yang sama gilanya, dan Lean...," Davina menghentikkan ucapannya. Wanita berambut merah itu terlalu takut untuk melanjutkan ucapannya.

"Aku tak akan melepaskan mereka kali ini. Sudah cukup aku kehilangan orang yang ku cintai. Tidak ada untuk yang kedua kali."

Fasya tersenyum mendengar suara di sampingnya. "Bukan dirimu sendiri, tapi kita." Fasya memeluk tubuh wanita di sampingnya dengan erat dan membisikkan suaranya. "Kita pasti bisa menghentikkan mereka kali ini."

"Ugh, kenapa aku selalu melihat orang bermesraan tanoa merasakannya sendiri." Davina memutar bola matanya malas dan berdehem membuat Fasya melepaskan pelukannya dengan Jehan yang tersenyum tipis.

"Mungkin belum waktunya," Jawab Fasya asal.

Davina menghiraukan ucapan Fasya dan hanya fokus pada Jehan. "Umm, Je, kau tahu kan saat kecelakaan kalian...," Untuk yang kedua kalinya Davina tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia takut menyinggung perasaan wanita di depannya. Ia tak mau membuka luka lama wanita itu.

Senyuman Jehan hilang, wajah wanita itu berubah dingin, namun tatapannya kosong. Lagi-lagi kenangan masa lalu menyerang pikirannya, dan mau tak mau Jehan harus kembali mengingatnya.

Jehan dan Lean duduk tenang di kursinya. Pesawat mereka sudah lepas landas beberapa jam lalu. Mereka kali ini menuju negara yang katanya penuh keromantisan, Prancis.

Ya, pernikahan mereka akan diadakan dengan mewah dibawah menara eiffel. Dan Jehan meminta kepada Lean agar mereka sendiri yang menghias acara kebahagiaan mereka.

Jehan mengeluarkan kameranya, meminta Lean berpose dan berfoto berdua. Foto tersebut langsung tercetak dan keluar dari kamera Jehan. Lean terus menggenggam fotonya bersama wanita disampingnya, dan bersumpah tidak akan pernah melepaskannya.

Ketika mereka sedang menikmati perjalanan diatas udara diselingi dengan candaan renyah dari Lean, tiba-tiba saja pesawat yang ditumpangi Jehan dan Lean mengalami guncangan hebat. Kulihat Jehan mulai panik saat guncangan tersebut malah semakin kuat. Bahkan selang oksigen pun turun dari bagian atas kursi masing-masing.

Sebelah tangan Lean memegang foto yang bersama Jehan tadi, dan sebelahnya lagi menggenggam erat tangan Jehan.

Lean menatap Jehan lembut seolah berkata 'semuanya akan baik-baik saja. Tenanglah.'

LuchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang