DUA PULUH TIGA

12.1K 949 19
                                    

Pada tanggal 13 April nanti, Cerita Alesha dan Elmar diterbitkan oleh Elex Media dengan judul A Wedding Come True.  Oh ya, aku diminta menghentikan penerbitan naskah ini di Wattpad karena sudah terbit bukunya. Jadi selanjutnya nanti kamu bisa baca hingga tuntas di buku.

***

"Melepaskanku?" Alesha mendengus. "Kalau aku nggak bahagia dalam pernikahan kita, aku tahu di mana jalan keluarnya. Aku bukan wanita lemah seperti Jossie. Yang nggak punya keberanian untuk mengakhiri pernikahan kalian yang disfungsi."

"Alesha, kita semua tahu waktu yang dimiliki Mama tidak banyak lagi. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menikah tanpa menganilisis banyak hal. Kalau nanti kita tidak bahagia ... well, aku tidak ingin memikirkan itu. Aku yakin kita akan bahagia bersama. Kanker bukan hanya ada di paru Mama, Alesha. Sudah meluas ke otak dan kelenjar adrenal. Dalam dua minggu kondisi Mama menurun drastis. Hidup Mama hanya ditunjang...." Elmar memejamkan mata, tidak mau membicarakan penderitaan ibunya saat ini. "Aku sudah tanya penghulu, dia bersedia menikahkan kita di rumah sakit. Aku yang mengurus semua perizinan. Kamu fokus menyiapkan detail pernikahan yang kamu inginkan."

Alesha mengernyit bingung. "Orang menikah di masjid atau di rumah. Kenapa kamu pilih rumah sakit?"

"Supaya Mama bisa melihat kita menikah, Alesha. Kalau kita menikah minggu depan, Mama masih tinggal di rumah sakit. Cairan di sekitar paru Mama terus kembali. Semoga saja tidak muncul di area jantung."

"Kamu nggak bisa membawa penghulu dan saksi ke sini, Elmar." Alesha tidak setuju. "Itu melanggar peraturan. Keramaian itu bisa mengganggu istirahat pasien lain."

"Aku tahu, Alesha. Makanya aku perlu bantuanmu. Pamanmu direktur rumah sakit ini." Elmar tersenyum jumawa. Bangga karena mendapatkan solusi. "Pasti beliau mau mengizinkan."

"Kenapa kamu ini hobi banget menyusahkanku? Pamanmu direktur rumah sakit ini. Dengan mengatakan itu seolah-olah masalah kita akan selesai dengan sekali menjentikkan jari?" Elmar selalu yakin bahwa dia akan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan—termasuk keinginan menikah dengan Alesha—dan Alesha tidak menyukai sifat Elmar yang satu ini. "Kamu bilang kamu yang tanggung jawab soal semua perizinan, kok sekarang jadi aku juga yang repot?"

"Tadinya aku ingin kita menikah di masjid di kompleks rumah orangtua kita, lalu resepsi di mana pun tempat yang kamu pilih. Tapi Papa bilang kalau bisa kita harus menikah di depan Mama. Karena Mama belum bisa ke mana-mana, jadi pernikahannya kita pindahkan ke sini."

"Terus tiba-tiba kamu ingat Om Marti direktur rumah sakit ini?" tanya Alesha ketus.

Elmar mengangguk. "Dan kakekmu yang mendirikan rumah sakit ini. Kamu kesayangan keluarga, Alesha. Apa saja yang kamu minta, pasti dipenuhi."

Seperti alasan itu cukup untuk meyakinkan Alesha supaya menego pamannya. "Jangan pernah bilang begitu di depan orang, Elmar. Nanti dikira aku kerja di sini karena KKN. Bukan karena memang aku mampu."

"Mampu?" Elmar menggeleng. "Kamu bukan mampu lagi. Kamu yang terbaik. Tanya saja pada anak-anak remaja yang mendapatkan manfaat dari keahlianmu."

"Mereka nggak punya pilihan lain." Alesha mengangkat bahu. "Cuma aku yang mau memberikan pelayanan gratis. Sudah begitu masih dikasih kue sama Edna."

"Jangan mengecilkan hal besar yang kamu lakukan, Alesha. Beri penghargaan pada dirimu. Sekecil apa pun prestasimu." Elmar menatap tajam ke arah Alesha. "Bagaimana klienmu akan yakin kamu mampu membantu mereka, kalau kamu tidak lebih dulu percaya bahwa dirimulah yang paling mampu membantu mereka? Gratis atau tidak gratis?"

"Kamu banyak bicara ya, hari ini, Elmar? Kalau urusan kita sudah selesai, aku mau pulang." Alesha beranjak dari tempat duduknya dan meraih tasnya.

Namun Elmar memegang pergelangan tangan Alesha, memaksa Alesha berdiri menghadapnya. Wajah mereka kini sejajar, dan Alesha, mau tidak mau, harus menatap mata Elmar.

"Terima kasih sudah mau menikah denganku, Alesha. Pernikahan ini amat berarti bagiku. Karena aku jadi bisa memenuhi cita-cita terbesar Mama sebelum Mama pergi. Selama ini Mama banyak membantuku membesarkan Kaisla. Mengajariku bagaimana menggendong bayi yang benar, mengganti popok, dan sebagainya. Masih ada banyak hal yang harus kupelajari dari Mama.

"Membayangkan tidak ada seorang ibu dalam hidupku saja aku tidak sanggup. Nanti aku harus menggantungkan hidupku pada siapa? Kalau aku perlu nasihat, perlu masukan dari sudut pandang wanita, aku harus datang pada siapa? Sekarang aku bisa datang padamu."

"Meski nggak sama, Elmar, ibuku akan selalu ada untukmu." Alesha tidak suka melihat gurat kesedihan di wajah Elmar. Kenapa Tuhan memberikan cobaan begitu besar kepada Elmar? Istrinya pergi dengan cara seperti itu, anaknya tidak bisa bicara, ibunya sakit keras, dan Elmar harus menikah dengan Alesha.

Karena Elmar adalah orang yang tangguh. Sangat tangguh. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan makhluk-Nya. Semua sudah ditakar dengan tepat. Ketika bisa melewati semua cobaan, kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat.

"Mungkin Mama tidak akan sempat merasakan serunya berbesan dengan ibumu." Elmar tersenyum pedih. "Apa kamu tahu Kaisla lahir prematur? Satu setengah bulan lebih cepat daripada tanggal seharusnya. Hari itu, saat dia akan lahir aku takut sekali, karena tidak tahu apakah Kaisla akan lahir dalam keadaan hidup atau mati. Persalinan yang dijalani Jossie tidak mudah.

"Aku tidak beranjak dari pelukan Mama selama menunggu Kaisla dikeluarkan dari rahim Jossie. Di pelukan Mama, segala ketakutanku menipis dan aku merasa tenang sekali. Hanya karena Mama bersamaku. Ada doa-doa Mama menguatkanku. Sekarang saat Mama berada dalam kondisi terburuknya, aku ingin melakukan sesuatu untuknya."

"Kita nggak akan pernah bisa membalas jasa seorang ibu, Elmar." Alesha menatap wajah tampan Elmar. Ketampanan Elmar tidak ada hubungannya dengan simetri wajahnya, melainkan memancar dari dalam jiwanya. Dari kebaikan dalam dirinya. "Ya, kita berutang banyak kepada orangtua kita, yang telah membesarkan kita hingga kita menjadi orang yang mandiri dan berguna. Tapi apa kamu tahu kepada siapa kita akan membayar cicilannya? Bukan kepada mereka, tapi kepada anak-anak kita."

Elmar mengangguk. "Kalau memang aku tidak bisa membalas semua yang telah diberikan Mama padaku, aku ingin membahagiakan Mama. Walaupun hanya sekali saja. Mama tidak pernah menuntutku untuk melakukan sesuatu di luar kehendakku. Mama bilang Mama cukup melihatku bahagia, maka beliau akan ikut bahagia. Dan selama aku bahagia, Mama tidak perlu apa-apa. Tapi kali ini aku ingin sekali bisa memenuhi permintaan Mama ini. Menikah denganmu. Karena ini pertama kalinya Mama meminta sesuatu kepadaku."

Alesha menyentuh kedua pipi Elmar. "Kita berdua akan memenuhi keinginan tersebut. Kita akan melakukannya, Elmar. Menjalani pernikahan kita sebaik-baiknya, meskipun pernikahan kita ada hanya karena ibumu menginginkannya. Aku juga lega, karena sudah bisa berhenti pura-pura pacaran denganmu. Berhenti berbohong pada keluarga kita."

Suatu ketika kebohongan pasti akan terbongkar. Kebenaran pasti menemukan jalannya. Alesha bersyukur karena kebohongannya bersama Elmar sudah bisa diakhiri. Tanpa Alesha harus mengarang alasan lagi. Karena pada akhirnya dia akan menikah dengan Elmar. Tidak ada lagi beban yang mengimpit pundaknya. Hilang sudah rasa bersalah yang membebaninya, karena membohongi orang-orang yang mencintainya. Yang tulus mengharapkan kebahagiaannya.

"Ah, kukira kamu mau menikah denganku karena aku satu-satunya laki-laki terbaik yang tersisa di dunia ini." Elmar mencoba bercanda dan menurunkan ketegangan di antara mereka.

"Jangan terlalu percaya diri." Alesha menepuk pipi Elmar. "Dengar, El, yang harus kita temui lebih dulu adalah Laura. Kita harus mendiskusikan dengannya apa pernikahan kita baik untuk kesembuhan Kaisla. Kaisla nggak membutuhkan tambahan masalah dalam hidupnya. Kalau Laura bilang sekarang Kaisla belum siap menerima perubahan besar dalam hidupnya, aku nggak akan menikah denganmu."

****



A Wedding Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang