LIMA

16.1K 1.8K 138
                                    

Jangan lupa baca cerita kakak Alesha, Alwin Eljas Hakkinen di salah satu daftar pekerjaanku: THE GAME OF LOVE. Juga tolong dukung saya untuk membiayai penulisan cerita dengan membeli salah satu bukuku. Menulis naskah seperti ini tidak gratis. Ada biaya yang harus kukeluarkan untuk riset dan sebagainya. Dari mana uangnya kudapat? Dari sedikit pendapatan royalti/penjualan buku. Buku-bukuku tersedia di Shopee dan Tokopedia ikavihara atau e-book melalui Google Play dan Gramedia Digital

***

Rambut Alesha yang dulu cokelat gelap, kini dicat hitam legam. Lebih pendek daripada yang diingat Elmar. Masih tetap tebal dan bergelombang. Kulitnya tampak bening dan halus. Lipstik sudah memudar dari bibir penuhnya. Bibir yang sengaja diciptakan untuk di ... Elmar mengusir keinginan tidak masuk akal tersebut. Demi Tuhan, dia baru saja memakamkan istrinya. Sekarang sudah bernafsu ingin mencium wanita lain? Bibir Alesha—dan bagian tubuh lain—adalah area terlarang. Jangan pernah lagi memiliki keinginan untuk menyentuh, apalagi menciumnya. Tetapi dasar perangai manusia, semakin dilarang semakin ingin melakukan.

Dengan pakaian rumahan yang sederhana, Alesha terlihat sangat berkelas. Tubuh Alesha, secara keseluruhan, lebih kurus. Tetapi di beberapa tempat, tempat yang tepat, semakin berisi. Jangan berpikir yang tidak-tidak, Elmar. Otak Elmar kembali mengingatkan.

Badan Elmar masih ingat apa yang harus dilakukan setiap kali bertemu Alesha. Mendekatkan wajah dan mencium pipi Alesha. Hanya sekilas menempelkan bibir di kulit Alesha bisa membuat sekujur tubuh Elmar seolah tersentuh kabel beraliran listrik tegangan tinggi. Seluruh sel di tubuhnya seperti disentak kuat sekali. Hatinya yang mati suri selama lima tahun ini, mendadak menemukan alasan untuk hidup kembali. Elmar ingin meraih Alesha dan mereguk lebih banyak lagi kehangatan. Hanya Alesha satu-satunya wanita yang bisa membuat Elmar tidak bisa mengendalikan diri seperti ini.

Elmar tidak menyangka dirinya akan bertingkah seperti remaja yang diajak salaman wanita cantik untuk pertama kali saat bertemu Alesha kembali. "Terima kasih kamu sudah menjaga Kaisla. Aku tidak tahu akan jadi apa kalau tidak ada kamu. Hari ini...."

"Shhh...." Alesha meletakkan telunjuk di depan bibirnya. "Wajar kita saling menolong saat membutuhkan, El. Masuklah, tapi pelan-pelan bicaranya. Kaisla tidur. Dia...."

Bahkan suara Alesha pun berbeda dari yang selama ini tersimpan dalam memori Elmar. Lebih teduh. Lebih lembut. Suara yang ingin didengar seluruh laki-laki di seluruh dunia setiap pagi begitu membuka mata. Dan malam menjelang tidur. Betapa beruntung siapa pun laki-laki yang menjadi pasangan hidup wanita luar biasa ini.

Elmar mengikuti Alesha masuk rumah, berusaha mengalihkan pandangan—dari pantat Alesha yang bulat seksi—ke seluruh ruangan. Rumah Alesha nyaman. Cukup luas. Tidak terlalu banyak perabot dan hiasan. Sangat Alesha sekali. Praktis. Sederhana. Kaki Alesha tampak semakin jenjang dengan celana panjang yang seperti dijahit khusus setelah mengukur kaki Alesha dengan akurat. Goddammit, Elmar mengumpat dalam hati. Kenapa perhatiannya bergerak ke tubuh Alesha lagi? Tidak bisakah dia menahan diri sedikit?

"Duduklah." Dengan gerakan tangan—yang sangat anggun—Alesha meminta Elmar duduk di kursi di depan meja makan. "Apa kamu mau minum sesuatu? Kamu sudah makan?" Alesha membuka pintu kulkas dan mengeluarkan satu teko bening lemon tea.

"Tidak usah repot-repot, Alesha. Aku hanya ingin melihat Kaisla sebentar. Kata Mama Em, kamu menawarinya menginap di sini." Makan adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Elmar hari ini. "Kamu banyak membantuku. Hari ini aku dan orangtuaku masih harus mengurus beberapa hal. Pengasuh Kaisla mengundurkan diri hari ini juga karena trauma."

Awalnya, Kaisla dan pengasuhnya bermain di rumah tetangga. Ketika jadwal mandi tiba, Kaisla pulang sambil bernyanyi riang. Pengasuhnya membukakan pintu dan mengizinkan Kaisla masuk lebih dulu, sementara itu dia membereskan mainan Kaisla di teras. Setelah menutup pintu, pengasuh Kaisla memanggil Kaisla agar segera memilih mainan yang ingin dibawa ke kamar mandi. Karena tidak mendapat jawaban, wanita berusia empat puluh lima tahun itu mencari di mana Kaisla berada. Betapa terpukulnya dia, melihat Kaisla berdiri di ruang tengah, menatap ibunya yang sudah tergantung tak bernyawa di railing lantai dua.

A Wedding Come TrueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang