[26] Surabaya dan Foto Mereka

2.9K 272 28
                                    

Aku duduk di kafe depan sekolah bersama Nada dan Areena. Mereka tidak langsung pulang dan sengaja mengawani aku yang sedang ingin makan gulai cancang.

”Kak Zura makannya enak banget. Tadi kita juga makan yang banyak waktu istirahat.” Komentar Areena menghentikan suapanku.

”Kak Zura melampiaskan rasa rindu dari abangnya.” Nada tumben bisa mengucapkan ledekan.

Rasa makanan yang kusantap masih bertahan di lidah sehingga aku lebih memilih melanjutkan makan. Daging sapi ini dimasak dengan rempah. Aromanya bikin liur menetes. Dimakan dengan nasi panas begini, membuat lidahku tidak berhenti mencecap. Perutku seolah terbuat dari karet hingga mampu menampung makanan yang tidak sedikit. Betul kata Areena, aku tadi sudah mengasupi tubuhku dengan banyak nutrisi.

”Kak Zura nih hari ini tidur di mana? Kakak berani tinggal sendirian?” tanya Nada serius kali ini. ”Kami boleh menemani Kak Zura?” Nah, kali ini dari matanya terpancar harapan.

Omong-omong, ini sudah masuk bulan kedua kepergian nenek. Hatiku sudah ikhlas tanpa kehadiran beliau. Jiwaku telah siap melepas Nenek untuk bahagia bersama Kakek. Karena lambat laun kusadari, Zahfiy berperan paling besar  menemaniku dalam masa kesedihan. Dialah seseorang yang menguatkanku. Dia juga meyakinkan bahwa dengan doa yang kubisikkan dalam tiap sujud, kami semua akan bertemu di jannah. Meskipun dari tatapan orang terdekat seperti dua sahabat kecil ini, aku masih dalam kondisi berkabung.

Kabut mulai menyelimuti mata. Secepatnya aku memperbaiki ekspresi agar tidak dikira galau. ”Berani kok. Lagipula, teman Ibu tidak mau membiarkan Ibu sendirian.” Aku mengunyah setelah bicara. ”Katanya sudah lama nggak tidur pelukan dengan Ibu.”

”Berapa lama perginya suami Kak Zura?” tanya Areena.

”Hanya beberapa hari. Tidak sampai seminggu.”

Makananku habis. Perutku seperti akan meledak. Sebenarnya, aku memaksa untuk tetap berada di luar seperti ini. Mereka benar tentang keadaan di rumah sepulangnya aku nanti. Tidak ada Nenek yang menyambutku di teras depan. Pun tak ada Zahfiy yang akan menemani kala malam melingkupi bumi. Dia baru pulang sekitar tiga atau empat hari lagi.

”Kalian tidak pulang?” Itu bentuk kalimat pengusiran yang halus. Aku tak ingin mereka luntang-lantung juga sepertiku.

”Kami mau pulang. Kak Zura juga ’kan?” Dan terkadang aku benci diberi perhatian.

”Mau ke mana lagi? Enggak bagus seorang istri kelayapan di luar saat suaminya pergi. Kalian sebagai pelajar juga begitu. Masih memakai seragam di luar jam pelajaran, itu tidak baik dilihat orang.”

”Baiklah, Ibu Guru,” tanggap Nada yang menyebabkan Areena ikut tertawa kecil.

Sekarang mereka baru mengakui jika aku ini guru mereka. Kedua remaja itu naik kendaraan masing-masing. Tangan mereka melambai sebelum hilang di keramaian jalanan.

Zahfiy
Mampir ke rumah Umi, ya Ra. Umi kangen sama menantunya.

Kalau begini, aku jadi punya tujuan. Aku lalu menghubungi Voni agar ia tidak ke rumahku sebelum kuberi tahu bahwa aku sudah berada di rumah.

Jarak dari sekolah ke rumah Umi sama dengan perjalanan pulang ke rumah Nenek. Rumah orang tua Zahfiyyan hanya beberapa kilometer sebelum kediaman kami. Aku tidak pernah tahu jika Zahfiyyan berasal dari daerah yang sama denganku. Apa karena Zahfiy sejak kecil tinggal dengan Mami Rana? Atau karena Zura Azzahra tidak peduli kepada para tetangga sehingga tak berminat ikut kegiatan bersama di tempat kami? Entahlah.

Sepanjang jalan kuingat lagi kehidupan rumah tangga yang baru seumur padi. Aku ini istri dari Zahfiyyan Sharnaaz. Dialah lelaki pertama yang membuat jantungku berdebar keras. Awalnya, aku hanya mampu mengamati sosoknya dari jauh. Keajaiban tiba-tiba datang, Zahfiyyan menjadi sahabat. Aku takkan lupa sikap memalukan yang selalu terjadi jika aku berdekatan dengannya pada awal perkenalan. Sebelum aku begitu kecewa akibat pilihannya. Dia memilih wanita lain yang menurut egoku saat itu sangat jauh di bawahku.

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now