[07] Sejengkal Lebih Dekat

1.7K 193 10
                                    

Cerita ini bergenre semi spiritual sih rencananya. Mau bikin yg spritual betulan Kasevnya belum mampu. Tolong masukan ya dears.

Happy Reading.

Part ini paling romantis menurutku sih.... Ini nggak ada di versi sebelumnya... Aku suka aja interaksi Zura dan Zahfiyyan disini. 💞💞💞💞

Maksih ynag sudah mau menekan vote.

😘😘😘

”Zura! Jangan melamun terus, mau latihan atau tidak?”

Vayola dengan pelototan macam mamak tiri membuat romaku berdiri. Jantung ini kejang-kejang akibat suaranya yang stereo.

Aku paham maksud tersirat dalam kepalanya, ‘Jangan pikirkan Zahfiyyan terus! Mau dipikirkan sampai rambutmu habis rontok juga, dia tak akan paham. Kamu tahu kan, dia yang kamu sebut Cowok Masjid itu tidak mau dekat dengan perempuan.’

”Paham paham,” balasku nyolot. Saat mendapatkan delikan seram bola mata Vayola yang seperti biji jengkol besarnya, nyaliku langsung ciut.

”Kalian ini bertengkar terus, ya.”

Kami terdiam dari aksi saling pelotot dan tunduk—yang menunduk aku tentunya—karena teguran suara lelaki. Rusdi kini berada di batu sebelah Vayola. Well, kami sedang berada di Pantai Gajah. Pantai yang bisa didatangi dengan jalan kaki dari kampus FBS.

Vayola bergeser beberapa senti dari laki-laki itu. ”Dia ini sahabat sejak SMA. Suka melamun orangnya. Disuruh hafal lirik dari tadi malah bengong,” adunya berapi-api.

”Emang Zura lagi mikirin apa? Kangen keluarga atau ... someone?”

Aku tertawa dengan keingintahuan sahabat Cowok Masjid ini. Kalau aku jujur bahwa sejak tadi aku merhatiin rambutnya Zahfiyyan yang diterbangkan angin, apa dia enggak shock? Eh, aku tak berani jujurlah. Malu kalau ketahuan naksir cowok. Apalagi ini Rusdi, suka menggodaku sejak pertemuan di kelas sanggar. Dia itu Ale versi lebih sopan juga tampan. Walau tak mengalahkan pesona Zahfiyyan.

Masya Allah. Hus! Zura pikirannya cowok melulu.

”Mikirin besok sudah harus tampil buat setoran depan Pak Zal, sedangkan aku masih belum hafal. Ini kenapa kita pakai ganti puisi sih? Padahal yang lama sudah bisa. Suaraku pecahnya ke mana-mana, nggak tahu nada. Ah ... pusing ah.”

”Bang Zahfi, diajarin ini Dek Zuranya. Jangan latihan sendirian!” teriak Rusdi ke temannya.

Tuh kan mulai godain lagi.

Cowok Masjid berdiri dari batu sebagai dudukannya, mendekat ke rombongan kami. Tadinya dia menggenjreng-genjreng gitar di batu paling ujung dekat laut. Seperti sedang menikmati dunianya sendiri. Tidak tahu bahwa lantunan nada yang dia nyanyikan mengakibatkan isi dalam dada ini lemas terbawa perasaan. Seakan-akan lagu itu ia nyanyikan untukku.

”Diajarin apa?” tanyanya tak paham.

”Baca isi hati, Bang Fiy, ya diajarin baca puisilah! Gimana sih, Abang Fiyyan anaknya Abi Syofiyyan.”

Zahfiyyan berdeham. Wajahnya memerah. Dia lepas kacamata lalu sangkutkan ke saku baju. Seolah yang barusan dia lakukan adalah salah, dia pasang lagi kaca kembar itu dan mendeham lagi. Ih kok dia jadi gugup gitu?

”Yang lain gimana? Ini kita latih Zura sendirian dulu atau sekalian dengan backing vocal?” tanya Zahfiyyan mengabsen anggota satu per satu.

”Kami bisa menunggu. Zura saja yang duluan dilatih, Abang Fiy,” kata Rusdi lagi-lagi terdengar sengaja mengejekku.

Apa dia tahu sejak tadi aku memperhatikan sahabatnya?

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now