[22] Ciuman Balas Dendam Katanya

3.8K 262 13
                                    

[22] Ciuman Balas Dendam Katanya

Sayup suara azan membangunkanku dari lena. Kedua kelopak mata serentak terbuka. Aku tersentak kemudian terduduk. Ketoleh ke sebelah. Lega. Aku hanya tidur sendirian di ranjang ini.

Beringsut sedikit demi sedikit ke ujung pembaringan, pandanganku jatuh pada sofa panjang yang menempel pada sisi tempat tidur. Di sana ia tengah terlelap dengan damai. Kaki kanan disilangkan ke kiri. Tangan pun demikian. Aku turun lalu berdiri di sebelah tidurannya. Napasnya teratur menandakan ia sedang dibuai mimpi.

Semalam adalah malam pertama dalam kehidupan rumah tangga kami. Faktor lelah menyebabkan aku meninggalkannya tidur lebih dulu. Aku bahkan tidak tahu dia masuk ke kamarku.

"Tidur di sofa dan jangan ganggu aku."

Kurasa aku memang mengucapkan kalimat itu dalam keadaan sadar dan tidak.

Lima menit kemudian aku telah khusyuk menjalankan ibadah vertikal. Setelah salam kuucapkan, aku menoleh ke belakang untuk mengecek tanda-tanda kehidupan dari Zahfiyyan.

Kebo juga rupanya.

Aku pun berdiri untuk membangunkannya. Dia pasti sangat lelah sampai tak mendengar panggilan salat. Aku yakin dia biasanya tak pernah lalai.

"Hei, bangun!" Kuguncang-guncang pundaknya. Ketika melakukannya, aku merasa ada setruman. Aku tak mengada-ngada. Sungguh aku merasakan ada aliran negatif yang berenang dalam sel.

Dia menggeliat kecil dan mendengkur halus. Saat ini dia terlihat manusiawi. Makhluk paling tampan yang kukenal ini ternyata melakukan sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Menyaksikan Zahfiyyan tidur dengan nyenyak sambil bersendar.

Ketika aku akan mengguncang tubuhnya sekali lagi, manusia yang sah menikahiku kemarin pagi itu tiba-tiba duduk dengan cepat. Bibirnya mengeluarkan kalimat istigfar. Kedua tangannya meremas rambut yang tampak berantakan. Aku hanya diam melihat reaksinya yanga aneh itu.

"Oh iya," ucapnya. "Kita sudah menikah. Kemarin," tekannya.

Aku berdecak saat menyadari dia baru saja melewati disorientasi.

"Solat sana!"

"Mukenanya jangan dibuka dulu, ya," cegahnya sebelum ke kamar mandi.

Aku mengedikkan bahu dan tidak menolak permintaannya. Cuaca cukup dingin. Perlengkapan salat ini membuatku tetap hangat. Aku duduk di sofa yang menjadi tempat tidur Zahfiyyan. Sengaja ingin melihat dia sujud kepada Tuhannya dari jarak dekat.

Ya Allah. Aku tak mengerti apa yang sekarang kurasakan. Ada perasaan tenteram melihat lelaki yang pernah kuucap dalam doa menegakkan tiang agamanya di kamarku. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Mataku mengikuti setiap gerakannya dalam diam. Dia melakukan dua rakaat dengan sangat khusyuk.

Tak sadar ternyata Zahfiyyan telah menyudahi salatnya. Aku memperhatikan baik-baik saat dia melipat sajadah dan meletakkan di punggung kursi tunggal depan cermin riasku. Mungkin tadi aku bisa leluasa melihatnya, kini tak berani lagi. Sebelum dia melangkah ke dekatku, aku cepat-cepat menunduk dan memainkan renda mukenah.

Jantung yang tersimpan aman di balik rongga dada ini berdentum pelan ketika ubun-ubunku disentuh. Kepala kuangkat pelan-pelan untuk melihat apa yang sedang dia lakukan. Zahfiyyan meletakkan tangannya di kepalaku. Bibirnya melantunkan doa dengan lirih.

"Allahumma inni as-aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha alaih, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha alaih." Dia mengulurkan tangannya. "Salat sunnah dua rakaat," ajaknya. Terus kenapa tadi sajadahnya dia lipat?

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now