[17] Jodoh dari Papa

2.4K 247 36
                                    

Nunggu Zura ngga?? 😅😅😅

🕯🕯🕯


”Besok aku jemput kamu di sekolah.”

”Mau ngapain?” Jemariku melepaskan seat belt begitu Yuda memberhentikan mobilnya. ”Mampir dulu yuk ke Nenek. Nggak baik pergi gitu saja. Apalagi kalau Nenek lihat laki-laki yang mengantar cucunya langsung kabur aja.”

”Kesannya kamu sedang berusaha agar Nenek kamu nggak menolak aku,” kata Yuda yang berhasil memecahkan tawaku.

”Mampir atau tidak?”

”Iya iya.”

Nenek sudah berdiri di pinggir teras, seolah dari tadi telah menungguku. Janji pulang sore, aku tiba pukul setengah sembilan malam. Nenek pasti cemas, sementara aku malah keasyikan ngobrol dengan mantan ketua kelas. Wajah Nenek terlihat lega begitu aku mencium tangan dan memeluknya.

”Nek itu Yuda,” bisikku.

Pria yang kumaksud mengucapkan salam kemudian mencium punggung tangan Nenek takzim.

”Yuda langsung pulang aja katanya, Nek. Sudah malam. Iya ‘kan, Yuda?”

Aku mendorong punggungnya masuk ke mobil. Melihat gelagat Yuda, aku takut dia akan bicara melantur sesuai keahliannya kepada Nenek. Sungguh, ini bukan saatnya. Biarkan aku yakin dulu baru memberi tahu Nenek.

”Jangan lupa besok, jangan pulang duluan kalau aku terlambat datang.”

”Iya ... iya ....”

Saat aku berbalik sudah ada Tayara dan ... abangnya. Cepat kualihkan pandang pada Nenek yang mengawasi mobil Yuda menjauh.

”Zura kemalaman,” laporku.

”Sudah makan?” tanya Nenek saat kugandeng ke dalam.

”Sudah.” Saat itulah pandangan kami bertemu.

Zahfiyyan Sharnaaz.

Lelaki yang dulunya pernah membuatku gila itu nyata ada di rumah ini. Jarak kami sedekat nadi, tapi hati bagaikan langit dan bumi. Begitu jauh dan tak akan pernah bertemu. Perkara benci sudah tak masalah lagi. Aku ingin berdamai dengan perasaan itu. Kami bersaudara. Iya. Tayara dan Zahfiyyan itu sama. Mereka anak papa yang baru. Aku tak boleh ikut-ikutan membenci mereka.

”Yang tadi itu siapa, Kak?”

Kesempatan itu kugunakan untuk menarik Tayara ke kamar, menghindari pertanyaan Nenek dan Zahfiyyan. Tentang lelaki itu, aku ingin merelakan dia. Memulai hidup yang lebih baik adalah dengan membuka buku yang baru. Tidak ada lagi jejak masa lalu. Pikiranku ini harus direparasi, dibenari supaya bersih.

Lelaki yang kucap sebagai penyebab semua masalah  bukanlah Zahfiyyan. Betul kata Nenek. Kematian itu sudah suratan takdir semenjak ruh ditiupkan ke jasad. Aku tak boleh menyalahkan takdir apalagi manusia.

Kesedihan telah lama berlalu. Perasaan untuknya semestinya telah hilang. Tidak boleh ada rasa yang istimewa kepada lelaki milik wanita lain.

Setelah bertemu Yuda, aku bisa merasakan perbedaan. Antara Yuda dan Zahfiyyan, meskipun salah satunya tak patut kupikirkan, aku tahu akan memilih yang mana. Voni pernah bilang, pilihlah orang mencintai bukan yang kita cintai sampai mati.

”Bang Fiyyan ke sini untuk menceritakan tentang Papi pada Nenek. Kakak ikut, yuk.”

”Hah ... mood-ku tiba-tiba jelek lagi.”

”Maaf. Eh ... jadi Kak Zura ajak aku ke dalam pasti mau curhat antara wanita ke wanita. Soal cowok tadi, Kak? Apa ceritanya? Aku siap mendengarkan.”

Zura Salah Gaul (Complete)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن