[09] Salah Menaruh Rasa

2K 203 22
                                    

Semester paling berat selama perkuliahan pun berakhir. Zura yang badannya makin subur telah selesai menjalankan tugas mengajar sebagai mahasiswa PLK. Saatnya Zura kembali ke Padang. Makanan enak masakan Anduang Rafiyah yang berhasil menaikkan bobot tubuh ini tidak akan ditemui lagi jika kembali ke kos. Aku merasa makin lebar semenjak PL. Balik ke Padang artinya penyusutan berat badan, semoga.

Aku berkuliah di universitas negeri di Kota Padang. Jadi untuk mahasiswa semester tujuh, kami mengambil mata kuliah Praktik Lapangan Kependidikan. Pada awalnya cucu Anduang Rafiyah ini yakin banget ingin tinggal bersama Nenek dan Kakek. Pikiran agak benar kala memutuskan untuk memilih sekolah yang ada di daerah tempat tinggal Nenek.

Selama satu semester tidak melihat Zahfiyyan itulah yang membuat aku hampir gila. Masa setiap berangkat sekolah secara otomatis kepala ini menoleh kiri dan kanan mencari seseorang. Seolah-olah Cowok Masjid akan muncul tiba-tiba di depan rumah. Sesampai di sekolah, ada harapan bahwa sosoknya tiba di kantor guru gitu. Ya Allah, aku betul-betul sudah tidak waras.

Kakek dan nenekku semakin tua. Lemah di tubuh mereka tak bisa disulap jadi kuat lagi. Hati ini sangat berat meninggalkan beliau berdua. Aku takut suatu hari mendapatkan telepon yang sangat mengejutkan. Aku tak dapat membayangkan berpisah jauh dengan mereka. Tangisanku kencang sekali seolah aku akan pergi jauh. Padahal hanya kembali ke Kota Bengkuang.

”Nenek harus sehat terus. Kakek juga nggak boleh sakit lagi. Zura inginnya lihat Nenek dan Kakek kuat seperti ini, seperti yang Zura temui terakhir kali.”

”Aamiin,” kata Nenek membelai hijabku bagian belakang.

”Pa ... pa,” ujar Kakek patah-patah.

Aku menelan ludah dengan berat. Zura mohon, Kek, jangan bahas dia. Sebagai cucu yang paling menyayangi kakeknya, aku tak bisa melontarkan kalimat penolakan secara nyata.

“Papa.”

“Kakek merindukan papa?”

“Nenek yang ingin tanya. Apa kamu tidak merindukan papa kamu?” Sepertinya Nenek dan Kakek berada di perahu yang sama.

“Sudah banyak puasa kita lewati tanpa papa dan mamamu. Telah banyak hari raya yang kamu lewati tanpa menjabat tangan mereka.” Nenek menatap jauh ke depan.

“Zura kangen Mama, Nek.”  Pertemuan dengan Mama beberapa bulan yang lalu bagaikan mimpi. Bersama Mama hari-hari terlalu cepat berganti. Tak bisa puas memiliki Mama di sampingku.

“Kenapa kamu menolak tinggal dengan mamamu?”

“Apa yang Zura cari di sana, Nek? Hidup Zura di sini. Nenek dan Kakek ada di sini.”

“Orang tua seperti kami tidak perlu kamu pusingkan, Sayang. Sudah biasa anak-anak meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kamu bisa lihat, Hamdi dan istrinya. Mereka tinggal berdua saja sejak lama. Sesekali anak dan cucu mereka datang dan mereka akan sangat senang. Jadi—”

“Zura nggak mau jauh dari Nenek dan Kakek. Zura hanya punya kalian. Biarlah Mama di sana, toh Mama sudah memiliki keluarga baru.”

“Kamu masih marah pada Mama dan ayahmu?”

Cucunya ini tidak berani membalas tatapan Nenek.

”Marahlah pada Nenek, Sayang. Bukannya sudah Nenek katakan waktu itu duduk perkaranya? Nenek pikir kamu paham jika Mamamu tidak bersalah.”

“Zura merindukan Mama. Zura sudah nggak punya papa. Zura hanya memiliki Mama, tapi Mama sudah punya keluarga baru, Nek.”

Akhirnya jatuh juga buliran bening hangat di pipi ini. Setelah beberapa waktu aku merasa ikhlas dan menerima dengan lapang dada, kini hati mulai labil lagi. Aku kembali menyalahkan orang yang mengambil semua kasih sayang. Heri, papa yang entah di mana rimbanya. Emosiku sedang tidak baik. Malam ini kuhabiskan dengan menangis dan akhirnya tertidur di samping Nenek.

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now