[23] Zahfiyyan dan Sebatang Gitar

3.3K 246 38
                                    

[23] Zahfiyyan dan Sebatang Gitar

Seminggu berlalu Mama pun pulang ke negara suaminya. Ayah Nazril tak dapat menghadiri acara kemarin karena beberapa hal. Kupikir bagus sebab beliau tak harus bertemu dengan Papa. Mungkin mereka akan biasa saja layaknya Mama dengan Mami Rana, namun aku sebagai orang di luar lingkaran itu yang ketar-ketir. Akankah terjadi peperangan fisik atau verbal? Aku tak dapat membayangkan betapa buruknya hal itu.

"Melamun. Memikirkan apa?"

Aku tersentak sebab suara dan tangan yang menyentuh pundakku. Kubalik badan ke arah Zahfiyyan yang telah berdiri dengan tampan sambil berlipat tangan.

Tuh 'kan pesona pria ini tak pernah luntur walau aku sempat sebal setengah hidup kepadanya.

"Bisa nggak sih masuk tuh ucap salam?"

Pandai kau, Zura!

"Assalamu'alaikum, yaa zawjatii," bisiknya betul-betul dekat ke telinga cucunya Anduang Rafiyah ini.

"Waalaikum salam, yaa syaitonirrajiim," balasku tak kalah manis.

Zahfiyyan tersenyum kecil kemudian mendaratkan telapak tangan ke puncak kepalaku.

Aku langsung siaga. "Diapain?"

"Mendoakan istri saya agar terhindar dari godaan setan yang terkutuk," bisiknya dengan tangan masih mampir di kepalaku.

"Itu 'kan kamu."

"Kalau godaannya dari saya, Dek Istri harusnya senang karena akan dapat pahala jika meladeninya."

Mak-sud-nya?

"Dari mana kamu?" tanyaku mengubah topik.

Please, ya, Ganteng. Aku lemah pada pesonamu. Aku nggak mau jatuh terlalu cepat. Itu nggak adil untuk sakit hatiku di tahun-tahun yang lalu.

"Rumah Umi. Beliau sedikit tidak sehat—"

"Kamu enggak ngajak aku?"

Dia tersenyum lagi. Manis banget sih suami Zura, Ma.

"Umi nggak apa-apa cuma kecapean aja akibat acara. Kalau kamu gimana?"

Aku mengerutkan kening. Kenapa denganku?

"Gimana apanya?"

Dia menyentuh dahiku menggunakan punggung tangan. "Penikahan kita, yaa zahratii, tidak sampai bikin kamu kecapaian seperti Umi?"

"Oh. Nggak."

"Mau jalan-jalan tidak?"

Kencan maksudnya?

Aku pura-pura tak peduli. "Ke mana?" tanyaku cuek.

Aduh! Ini kali pertama diajak jalan. Ke mana saja boleh kok asal dibayarin transport dan makan.

"Pantai dekat sini saja. Karena sudah sore, kita lihat matahari terbenam. Mau?"

"Ya udah, aku ganti baju dulu."

Kulirik dia menggaruk kepala bagian samping.

"Kamu mau berdiri di sana? Aku nggak harus ke kamar mandi loh ganti bajunya."

Dia pun buru-buru ke luar.

Tak butuh waktu lama-lama, aku telah duduk di sebelah Nenek di kursi ruang tengah.

"Nenek mau Zura belikan apa nanti?" tanyaku sambil memeluk pinggang Nenek.

"Martabak rasa pisang cokelat," kata Nenek melepaskan pelukanku.

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now