[05] Musikalisasi Puisi

2.1K 217 8
                                    

Happy Reading....


Kembali ke kampus!

Selama liburan, Mama menemaniku di rumah. Ayah Nazril lebih dulu balik ke negaranya karena urusan pekerjaan. Mama ikut aku ke indekos dan tidur beberapa malam di sini. Sehari sebelum kuliah, aku mengantar Mama ke bandara. Aku berjanji tidak akan menangis. Jadi, kulepaskan Mama dengan senyuman dan pelukan hangat. Begitu pula Mama.

Sepanjang masa liburan, nama Zahfiyyan nyaris tidak pernah kuingat. Semua perhatian dan pikiranku hanya untuk Mama, Nenek, dan Kakek. Mungkin semasa di Padang, aku banyak baper karena baru sekali ini naksir cowok. Mungkin aku belum mencintai siapa pun kecuali keluargaku. Syukurlah. Aku tidak mau mengalami hal yang sama seperti kedua orang tuaku.

”Haaah! Aku kepagian,” lirihku kemudian memerosotkan tubuh ke lantai. Lorong ini masih sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

Ini kuliah hari pertama. Jadi aku semangat banget tadi. Sebelum azan Subuh sudah mandi dan sehabis salat baca Qur’an sebentar sebelum berganti pakaian. Tahunya jadi begini. Mana tadi karena takut dalam lift sendirian, aku naik tangga lagi. Sekarang kakiku rasanya pegal banget.

Aku mengurut-ngurut betisku di balik rok panjang. ”Nasibmu, Ra Ra, punya betis segede ini. Coba kalau kecil, mungkin nggak akan ngos-ngosan kali.”

”Zura ....”

Kuangkat sedikit kepalaku untuk melihat siapa yang baru menyapa. Dia duduk di seberangku. Menggelesot di lantai depan ruangan kuliah yang masih tertutup. Zahfiyyan bersila dengan ganteng di hadapanku.

Dia selalu memulai dengan salam terlebih dahulu setiap akan menyapa. Aku biasanya terlalu banyak bengong sehingga lalai membalasnya seperti pagi ini. Dia pun mengulang salamnya sambil memberikan aku sebuah senyuman indah. Vitamin mata di pagi hari.

Astagfirullahal’adzim, Zura! Stop kecentilan!”

Aku berhasil mengondisikan jantungku yang berdiam di balik rongga dada agar tenang. Jadi aku mampu bersikap tidak malu-maluin seperti biasa saat berhadapan dengan Zahfiyyan. Cukup dewi batinku saja yang ganjen di dalam sana yang berteriak-teriak senang melihat paras segar Zahfiyyan.

Aku pun mengingatkan kedua manik cokelatku untuk menjauhi zina mata. Telah cukup salah selama ini aku terlalu banyak memikirkannya. Yang seperti itu kata Kak Mifta sudah zina hati namanya. Masya Allah. Kuajak diriku sendiri untuk berbenah. Kagum boleh, berlebihan jangan. Sewajarnya saja. Masih ada Tuhan yang patut kukagumi dan kumuliakan.

Aduh, susahnya jadi anak baik-baik.

”Semangat sekali pagi ini, Ra, gimana dengan liburannya?”

Mengajakku bicara mungkin cuma caranya untuk menjalin komunikasi. Hanya kami berdua di lorong ini. Tidak mungkin kami saling diam, sementara kami sama-sama kenal.

”Luar biasa asyik. Mamaku pulang. Kamu liburannya gimana, Zahfiy?” cicitku hingga ujung namanya kuserukan sedikit panjang. Kurasa ini pertama kalinya aku memanggilnya seperti itu.

Dia tersenyum sebelum berkata, ”Selalu menjadi momen paling ditunggu setiap akhir semester.”

Tentu. Semua mahasiswa yang tinggal jauh dari rumah selalu berharap liburan segera tiba. Berbeda sekali denganku sebelum pulang. Karena dia, aku malas untuk kembali. Namun, setiba di rumah aku hampir lupa kepadanya.

Aneh sekali. Kalau dia tidak ada arti di hatiku, kenapa dia selalu hadir dalam kepalaku? Kalau aku tidak mencintainya, kenapa aku galau sekali dulu? Kalau aku hanya menyukainya, kenapa aku sampai panas dingin begini  berhadapan dengannya?

Zura Salah Gaul (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang