[25] Jadi Istri Penurut

3.7K 333 23
                                    

[25]  Jadi Istri Penurut

Aktivitas dimulai seperti biasa. Aku mengajar dan Zahfiy pun mengajar. Aku dengan siswaku dan Zahfiy dengan mahasiswanya.

"Abang," katanya sebelum membukakan pintu untukku. Kami sudah berada di depan gerbang SMA IT. Tampak siswa berjalan kaki masuk ke halaman sekolah. Pun ada yang mengendarai roda dua.

"Mana?" Aku menoleh ke luar. Barangkali dia melihat seseorang yang dikenal.

"Panggil aku abang."

Mataku melebar. "Zahfiy, jangan aneh gitu. Kita seumuran—ralat, aku lebih tua dari kamu. Sepuluh hari." Aku tertawa sambil bergeleng.

"Kamu mau aku panggil kakak?"

Tawaku menyembur lagi. "Mana boleh? Jangan anggap istrimu kakakmu, nanti nikahnya batal. Enggak ada adik yang menikah dengan kakaknya," kataku dengan bijak. Duh, Zura, kamu mengajari suamimu.

Jika untuk kebenaran, tak ada salahnya mengingatkan.

"... makanya panggil aku Abang atau Abang Fiy seperti Tayara dan Zoffan."

Aku terdiam. Dia serius?

"Kamu nggak gila panggilan hormat 'kan, Bang?"

"Tidak, yaa zahrata hayaatii."

Menggerutu aku bertanya lagi apa yang dia maksud barusan.

Katanya, "Bunga hidupku."

"Bunga bank sekalian," sindirku.

Aneh-aneh panggilannya. Tapi aku suka mendengar istilah-istilah itu dia ucapkan. Seolah anaknya Papa Heri ini sangat berharga bagi Zahfiyyan.

"Abang," katanya mengejakan kepadaku.

"Abang," sambarku dengan cepat. "Mudah kok."

Zahfiy menusuk pipiku dengan jari. "Kalau nurut gini 'kan tambah imut."

"Abang ... Dek Zura ...." Dan tawaku tak bisa dikendalikan lagi. Kami seperti sedang main film Melayu.

"Cium tangan Abang sebelum kerja." Dia mengulurkan tangan ke wajahku.

Dengan cepat kujabat, kemudian ....

Zahfiyyan hendak menarik tangannya, tapi kutahan kuat-kuat. Punggung tangan yang putih itu kukecup lama dengan bibir hingga lipstikku mengecap.

"Kalau begini, kita satu satu. Abang satu, Zura satu. Kamu juga kelihatan tambah imut pakai lipstik," kataku sebelum keluar dari mobil.

Suara klakson mobil Zahfiyyan terdengar. Mobilnya mulai meninggalkan sekolahan. Aku pun mulai melangkah ke dalam.

"Ibu Zura! Waaah, pengantin baru!"

Dua siswa berlari-lari menghampiriku.

Nada.

Areena.

***

"Artagfirullah!" seru Zahfiyyan saat masuk kamar. Tangannya ditekan ke dada.

"Kamu, Sayang. Abang pikir setan dari mana."

Bahasanya agak aneh, mungkin karena telingaku belum terbiasa.

"Kalau mau akuin istrinya setan sih anggap aja begitu," kataku masih duduk bersandar di ujung tempat tidur. Kepalaku nyaris seperti posisi berbaring hingga pandanganku dapat menatap warna pink langit-langit kamar.

"Maskeran?" tanyanya duduk di sebelahku.

"Kenapa? Kamu mau juga?"

Zahfiyyan menusuk pipiku—lagi. Sudah jadi kebiasaan jugakah?

Zura Salah Gaul (Complete)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora