[10] Akhir Sebuah Rasa

2.1K 211 39
                                    

Nanti, kisah ini akan dibagi menjadi 3 jilid. Nah, untuk jilid I part ini yang terakhir. Nanti kita akan tiba jilid II di bab sebelas. Akan ada perubahan latar dan lain hal. Terus ikuti kisah ini selagi on going yaa.

Selamat membaca...







Rumput hijau, sawah menguning, pohon mangga, lampu jalan, kendaraan yang berpapasan seolah mengabur. Seharusnya pemandangan itu aku nikmati seperti biasa. Kini semua kelam dan sepi. Jiwa ini tersedot ke dalam pusara bersama kesedihan yang mendera. Jejak air mata yang mengering membuat pipi agak kaku. Mata menatap kosong berusaha hilangkan lara hati yang paling perih akibat mendengar kabar tadi pagi.

“Dik, sudah sampai.” Sopir minibus mengguncang bahuku hingga sadar aku ada di mana. “Sudah sampai, Dik. Mari turun.” Sekali lagi sopir mengingatkan.

Aku tergesa turun dari bangku penumpang yang berada di sebelah tempat duduk pengemudi. Mengucapkan terima kasih lalu mengangkat tas polo menuju sebuah sepeda motor.

“Ojek, Pak.”

Jika biasanya aku mendambakan kecepatan agar segera sampai, kini tidak lagi. Aku lebih ingin waktu diberhentikan agar tubuhku tidak pernah sampai ke rumah dan melihat kenyataan yang ada. Kaki gemuk ini ingin berlari sejauh mungkin sehingga ketika kembali, semuanya akan baik-baik saja. Namun, semua itu hanya angan. Tidak mungkin diri ini melawan takdir dan menghindari kematian. Seketika air mata kembali turun. Susah payah kutahan isakan agar tukang ojek tidak menyadari.

Ketika tiba di halaman rumah Nenek, langkahku seperti dipaku. Pengemudi motor harus menyadarkanku beberapa kali seperti yang dilakukan sopir bus sebelumnya. Membayar jasa, aku berdiri kaku sambil menenteng tas bawaan.

Wajah orang-orang yang berkerudung hitam serta yang berkopiah menatapku dengan khawatir. Mereka diam saja. Mungkin menunggu perempuan ini berjalan sendiri.  Langkah kakiku tertatih masuk ke teras rumah yang telah dipenuhi sanak saudara serta warga di desa. Tanpa lupa mengucapkan salam, aku masuk menuju kerumunan orang di ruang tamu.

Jasad Kakek terbaring kaku. Wajah Kakek kuelus lantas kuucapkan doa di dalam hati, semoga jalan Kakek dilapangkan. Untaian doa tumpang tindih kubisikkan lama di telinga jenazah. Setelah itu kucium kening Kakek dan kututup kembali kain putih yang tadi aku singkap.

Semuanya hening. Telinga ini tak menangkap bacaan yaasin serta doa yang dilantunkan para pelayat. Secara perlahan aku berjalan mundur. Seperti mengerti akan kesedihanku, mereka sama sekali tidak menyapa atau mengucapkan sepatah kata.

***

Desingan angin menampar wajah ketika aku berdiri di tepi jurang. Dinginnya menyapu kedua belah pipi. Dia bertiup begitu kencang hingga menerbangkan rambutku yang hanya ditutup sehelai selendang hitam. Beberapa helai rambut melewati  wajah yang membuat geli. Telah beberapa kali jariku berupaya menjauhkannya, namun ia tetap terbang lagi menciumi pipi. Akhirnya kuabaikan saja.

Tautan ujung selendang mulai terasa merenggang. Lama kelamaan terbanglah ia ke arah jurang. Pandanganku lantas mengikuti arah perginya. Selendang hitam itu berkibar mengepakkan sayap menuju dasar jurang hingga akhirnya jatuh di sungai dan dihanyutkan oleh arus.

Tangan yang terentang kuturunkan saat mendengar ada yang datang. Seekor kacer hinggap di dahan pohon mati.

“Kamu pasti terlambat tahu. Burung sepertimu biasanya selalu menyampaikan kabar kematian terlebih dulu. Bukan berkicau di saat jasad mati telah terkubur. Dasar burung pemalas,” umpatku. Si unggas terus berkicau merdu.

“BERHENTILAH MENGGANGGU!”

Kacer merasa terancam lalu terbang menjauh. “YA BAGUS, PERGI SAJA KALIAN SEMUANYA! PERGI! AKU BENCI KAMU, ZAHFIYYAN! KAMU BAWA KEMALANGAN DI HIDUPKU. KARENA KAMU, KAKEK MENINGGAL. AKU SANGAT BENCI KAMU, ZAHFIY. Aku tidak ingin melihatmu lagi.”

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now