Tujuh puluh lima

197K 11.9K 2.6K
                                    

"Mendapatkan hatimu, diibaratkan seperti kenaikan angka antara satu hingga sepuluh. Dan sialnya, kini aku berada di luar angka."

***

"Maaf."

Rea menghentikan langkahnya, tanpa menoleh. Menunggu ucapan selanjutnya yang terlontar dari orang di belakangnya. Tak ada suara apapun lagi. Rea kembali melanjutkan langkahnya. Tidak peduli dengan kondisi langit yang masih gelap. Yang penting, dia masih punya penerangan lampu minyak di tangannya.

Gadis itu sedikit menoleh ke belakang. Ternyata Zay mengikutinya.

Lelaki tampan itu mengikutinya kemanapun ia melangkah. Diam-diam gadis itu mengulum senyumnya. Dia akan menguji Zay, seberapa tahan lelaki tampan itu membuntutinya.

Tak terhitung sudah berapa lama ia berjalan. Kini, ia tiba di sebuah lapangan luas. Sepertinya tempat itu sengaja dibuat untuk tempat peristirahatan para pendaki. Ada beberapa kursi kayu di sana. Rea memilih mengistirahatkan tubuhnya di sana.

"Ngapain ikut? Kak Zay benci Rea kan? Yaudah, pergi sana!" Ucap Rea tanpa menatap lelaki itu sedikitpun. Kedua tangannya bersidekap di dada. Padahal jauh di lubuk hatinya menyimpan sebuah kebahagiaan. Zay menyusulnya, dan lelaki itu mengikuti langkahnya hingga saat ini.

"Maaf." Ucap Zay untuk kedua kalinya. Lelaki itu berdiri di hadapannya.

Rea tidak menjawab. Biarkan saja. Sesekali lelaki tampan itu memang harus diberi pelajaran.

Tanpa menyerah, Zay kini membuka ransel yang sedari tadi ia sandang. Lelaki itu mengeluarkan sekotak lilin berukuran sedang. Lantas mulai memasangnya hingga membentuk lingkaran. Jarak antara satu lilin dengan lilin lainnya lumayan jauh. Hingga ruang yang ia ciptakan kini tampak luas.

Lilin-lilin itu kini menyala, hingga mengunci Rea dan Zay yang ada di dalamnya.

Rea diam-diam mencuri pandang ke arah lelaki itu. Sedari tadi keningnya berkerut heran. Terlebih saat lelaki itu mengeluarkan sebuah bola basket di dalam ranselnya.

"Mau ngapain sih?" Akhirnya Rea kembali bersuara. Dia tak tahan jika terus-terusan diam seperti ini.

"Ngajarin lo."

"Hah?!"

Jantung Rea berdetak lebih kencang saat ini. Apa tadi? Zay akan mengajarinya bermain basket? Lelaki tampan itu bahkan masih mengingat janjinya sejak berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan yang lalu. Bolehkan Rea berteriak senang sekarang?

Lelaki itu mulai memantul-mantulkan bola basket di tangannya. Ia tampak lihai, terlebih saat memantulkan bola dalam berbagai gaya. Rea cukup terkesima. Ia dapat melihat Zay latihan dalam jarak yang sedekat ini.

Zay menahan bola di tangannya. Lelaki tampan itu menatap gadis yang sedari tadi mematung di hadapannya.

"Sini." ajaknya.

Rea lantas tersadar. Tentu saja dia menurut. Sedangkan lelaki itu masih terus memantulkan bola basket dengan lincah.

"Ayo rebut." ucap Zay.

Rea mengangguk. Berkali-kali ia coba untuk merebut bola itu dari tangan Zay, namun tetap saja tidak bisa. Tentu saja, Rea itu masih pemula, tidak seperti Zay yang jelas sudah pro.

Melihat gadis di hadapannya yang sudah kewalahan, Zay memberikan bola basket secara cuma-cuma untuknya. Dengan senang hati Rea menerimanya.

Gadis itu mencoba untuk memantul-mantulkan bola, mencoba gerakan seperti yang Zay lakukan tadi. Namun tetap saja tidak bisa.

Fireflies [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang