Lima puluh satu

185K 10.9K 335
                                    

"Hargai hati sebelum mati. Karena semesta tak punya cadangan pasti."

***

"Rea, ayo bangun, nak. Udah jam tujuh loh. Nanti kamu telat. Ayo, Ayah udah nungguin tuh."

Rea mengucek matanya pelan. Samar-samar, ia melirik ke arah jam dinding. Ia terkejut. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Bukannya tadi Bundanya bilang sudah jam tujuh?

Tapi, bukan itu yang membuat Rea kaget. Melainkan kalimat terakhir yang baru saja diucapkan Bundanya.

Rea yang baru setengah sadar, memaksakan diri untuk mencari Bundanya.

Dilihatnya Rifa sedang berdiri di sekitar meja makan sembari menuangkan nasi goreng di atas piring.

Rifa meliriknya, "Rea, kamu liat Ayah gak? Dari tadi Bunda cariin kok gak ada. Apa mungkin Ayah udah berangkat? Tapi kan Ayah kamu belum sarapan. Kamu sih, bangunnya kelamaan."

Rea yang tadinya masih setengah mengantuk, kini sepenuhnya sadar.

"Bunda, Ayah kan udah meninggal."

Pranggg!!!

Piring di tangan Rifa terjatuh, "Rea! Kamu gak boleh ngomong gitu! Ayah kamu masih hidup!"

"Bunda, Ayah udah dikubur kemarin. Kenapa Bunda lupa?" Nada suara gadis itu terdengar bergetar. Wajar saja. Walau bagaimanapun, anak berumur sepuluh tahun itu juga pasti sangat terpukul.

Rifa mendekati Rea dengan langkah cepat. Rea yang terkejut, berniat ingin melarikan diri, namun tangan Rifa mendahului pergerakannya.

Rifa menjewer telinga Rea hingga gadis itu menjerit keras.

"Bundaa..."

"Siapa yang ngajarin kamu ngomong gitu hah? Perkataan itu do'a, Rea. Kamu nyumpahin Ayah kamu? Durhaka!"

"Sakitt Bunda..." Kedua kaki gadis kecil itupun ikut berjinjit, seirama dengan jeweran panas di telinganya.

"Gak ada ampunan untuk anak durhaka!"

Bu Desta - tetangga sebelah, yang saat itu sedang menyapu halaman, samar-samar mendengar teriakan anak kecil. Awalnya ia mengabaikannya, pikirnya mungkin saja itu suara televisi.

"Tolong!!!" Sembari menahan rasa sakit, gadis kecil itu berteriak sebisanya, "sakit Bunda.. Tolong!!!"

Suara itu ... Bu Desta tampak tak asing dengan suara itu. Seingatnya, televisinya pun mati. Tak mungkin suara televisi tetangga bisa sebesar itu.

Bu Desta menjatuhkan sapu lidinya. Ini benar-benar tidak beres!

Cepat-cepat ia mendatangi kediaman keluarga Revan yang persis di sebelah rumahnya. Kebetulan, pintu depannya terbuka.

Namun, pemandangan pertama yang ia lihat adalah-

"Astaghfirullah, Rifa!" Tanpa mengucap salam santun, wanita muda itu berlari masuk dan berusaha menghentikan kekejaman Rifa.

"Minggir!" Rifa tampak berapi-api.

"Dia anakmu, Rifa!"

"Dia ... dia ..." Pelan-pelan Rifa melepas jewerannya, "dia pembunuh!"

Rifa mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berniat memukul Rea, namun cepat-cepat dihentikan oleh Bu Desta.

Rea kecil menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya merosot. Ia memeluk lututnya kuat. Takut. Sedih. Sakit. Semua beradu menjadi satu.

Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now