5. Other Side (Bagian II)

2.5K 269 2
                                    

Sai menyuruh sopirnya pergi meninggalkannya saat ia sampai di sebuah taman kota. Ia sedang butuh sedikit ketenangan. Di tempat yang tidak berisik, tanpa seorang pun yang mengganggunya.

Pertama kalinya ia membolos setelah naik ke kelas dua. Kebiasaan buruk di tingkat pertama yang kembali terulang.

Tapi siapa yang akan peduli? Tidak akan ada yang peduli padanya. Orang tuanya mungkin akan mempertanyakan, hanya saja hal itu semata-mata untuk pencitraan mereka. Bukan suatu bentuk perhatian yang tulus atau nyata.

Kehidupan Sai semakin menyedihkan saat sang kakak memutuskan pergi enam tahun yang lalu. Kakaknya menjauh dari keluarga tanpa meninggalkan pesan apapun padanya.

Satu-satunya orang yang membuat Sai tetap semangat bersekolah sudah pergi. Sai tidak lagi memiliki figur yang bisa ia jadikan teladan. Kakaknya telah meninggalkannya karena sudah tidak tahan lagi dengan sikap otoriter orang tua mereka.

Garis takdir buatan orang tuanya terkadang sangat menyakitkan bagi Sai. Apa yang akan ia lakukan sudah disusun. Sai bahkan layaknya robot hidup yang senantiasa menuruti keinginan orang tuanya, tanpa bisa membantahnya sama sekali.

Sai sebenarnya ingin masuk SMA yang fokus pada dunia seni. Cita-citanya ingin menjadi seorang seniman terkenal. Sederhana, memang.

Sayangnya, semua itu runtuh saat orang tuanya menyuruhnya masuk ke SMA Konoha. Dan kelak harus bisa diterima di perguruan tinggi terbaik, mengambil jurusan bisnis. Jelas saja itu untuk meneruskan kepemimpinan sang ayah di perusahaan properti, mengingat anak bungsu keluarga Shimura telah memutuskan hubungan kekeluargaan. Jadilah kursi kepemimpinan itu akan jatuh ke tangan Sai. Segera, setelah ia lulus kuliah.

Dulu sebelum Hinata masuk ke kelas 2-1, Sai sempat mendengar kabar bahwa gadis itu akan ikut tes seleksi masuk kelas unggulan. Gadis itu ingin masuk perguruan tinggi dan menjadi seorang dokter, yang jelas sekali kalau orang tuanya mendukung penuh keinginan Hinata. Bahkan Sai sering melihat Hinata berangkat sekolah diantar oleh ibu maupun ayahnya. Jujur saja hal itu membuatnya iri.

Dan dengan menindas Hinata selama di sekolah, sedikit membuatnya merasa puas. Keluarga Hinata yang kekurangan saja bisa terlihat bahagia, tapi kenapa keluarganya yang bergelimang harta justru membuat keadaannya menderita?

“Mengapa dunia begitu tidak adil padaku?” gumam Sai seraya memejamkan mata. Setitik air mata jatuh di wajahnya.

***

Sekarang mungkin Sasuke tidak akan bisa lagi menindas gadis penghuni setia perpustakaan itu. Takkan ada lagi gadis yang memasang wajah biasa saja saat dijahili. Tak ada lagi sosok yang membuat kesehariannya lebih berwarna. Semuanya kembali kelam.

Entah mengapa memikirkan hal itu membuat Sasuke merasa ada yang hilang. Alasan lain pergi ke sekolah selain bertemu teman-temannya tidak ada lagi. Terasa sepi.

Sasuke butuh pelampiasan dari kemarahannya. Tiga tahun terakhir ini ayah Sasuke sibuk dengan pekerjaan di luar negeri. Hanya tetap mengirimkan banyak uang, tapi semakin jarang menghubungi.

Masih jelas dalam ingatan Sasuke saat ayahnya memilih SMA Konoha untuknya. Sasuke sempat menolak, akan tetapi ayahnya yang berkuasa mutlak atas dirinya tetap mendaftarkan si bungsu Uchiha itu di sana. Tak peduli seberapa besar usaha Sasuke menolak, ayahnya tidak akan mau mendengarkan.

Sasuke masuk SMA Konoha dengan sangat mudah. Ia tidak perlu ikut tes masuk. Hanya dengan menunjukkan nilai SMP dan sedikit bantuan dari snag ayah, ia berhasil masuk SMA Konoha dan berada di kelas unggulan.

Tahun pertama ia menjadi lebih akrab dengan kelima siswa satu kelasnya. Dengan latar belakang keluarga yang hampir sama, membuat mereka semakin dekat. Sering bercerita satu sama lain dan juga memberikan semangat.

Lalu, semuanya berubah ketika seorang gadis berkacamata hadir di kelas mereka. Gadis Pengacau.

Sasuke dan teman-temannya sepakat melakukan apapun agar gadis itu keluar dari kelas mereka. Penindasan dan perlakuan kasar sudah sering dilakukan, tapi Hinata masih sanggup bertahan. Sampai akhirnya gadis itu memilih menyerah lima bulan setelahnya. Waktu yang cukup lama bertahan dari siksaan para iblis.

Ada sedikit rasa sesal di hati Sasuke saat melihat ekspresi Hinata sebelum tadi keluar dari kelas. Apa yang dilakukannya mungkin sudah kelewat batas. Dan jika ibunya tahu, pasti sangat kecewa.

“Ibu,” panggil Sasuke seraya menghampiri seorang wanita paruh baya yang duduk di atas kursi roda. “Hari ini dia telah sampai batasnya.”

Sasuke memang sudah sering menceritakan tentang Hinata. Termasuk hobi yang sekaligus menjadi rutinitasnya setiap hari, menjahili dan bersikap kasar pada Hinata. Terkadang ia akan terkekeh.

“Dia menyerah. Dia memutuskan keluar, bukan hanya dari kelas, tapi dari SMA Konoha.” Sasuke menyandarkan kepalanya di pangkuan sang ibu. “Aku harus bagaimana?”

***

Memandangi aliran sungai lebih menyenangkan bagi Toneri daripada pulang ke rumah. Sekarang masih jam sembilan kurang dua belas menit. Toneri akan mendapat omelan jika ia pulang sekarang. Orang tuanya yang sibuk bekerja di luar kota akan segera meneleponnya dan menyuruhnya kembali ke sekolah.

SMA Konoha adalah sekolah elit, biaya sekolahnya pun juga tidak murah. Apalagi jika berada di kelas unggulan yang menggunakan fasilitas terlengkap. Tapi siapa yang peduli? Lagi pula, masuk ke SMA Konoha juga bukan keinginan Toneri. Ia masuk sekolah itu karena paksaan kedua orang tuanya.

‘Keluarga Ootsutsuki merupakan orang terpandang, apa jadinya jika anak semata wayang mereka menuntut ilmu di sekolah swasta? Memalukan.’

Toneri masih mengingat kalimat itu. Pada saat lulus SMP, dia berniat masuk SMA swasta. Namun, orang tuanya menentang keinginannya. Pada saat itu Toneri hanya bisa pasrah, ia sama sekali tidak bisa melawan kehendak orang tuanya.

Akhirnya ia masuk SMA Konoha. Berada di kelas unggulan yang hanya berisi enam siswa yang semuanya laki-laki. Bersama mereka, apapun bisa Toneri lakukan. Termasuk juga menjahili siswa mana saja yang ia inginkan. Jika siswa itu dari kelas rendah, dengan senang hati Toneri akan menyusun berbagai macam rencana untuk menjahili mereka.

Kelas unggulan adalah kelas yang sulit sekali dijamah oleh siswa-siswa yang sepadan dengan mereka, apalagi siswa-siswa dari kelas rendah? Sangat mustahil.

Tapi anggapan itu musnah saat seorang gadis berpenampilan aneh menjadi siswa baru di kelas 2-1. Toneri merasa sangat terganggu karena kehadirannya. Itu sebabnya setiap hari ia dan teman-temannya menyusun banyak rencana untuk menjahili gadis aneh itu. Tujuannya adalah agar dia segera pergi dari kelas 2-1.

Semua rencana untuk menjahili Hinata sudah dilakukan. Dan semuanya selalu berakhir sama. Hinata tetap tak acuh, namun Toneri dan sahabat-sahabatnya yang lain justru semakin gencar memberikan perlakuan buruk mereka.

Seringnya menjahili Hinata, membuat gadis aneh itu akhirnya menyerah juga. Oh, dia bahkan langsung keluar dari kelasnya. Tapi setelah Hinata keluar apakah semuanya masih akan tetap sama?

“Kenapa aku memikirkan gadis aneh itu?” Toneri merutuk dirinya sendiri yang malah memikirkan Hinata. “Sama sekali tak berguna.”

Toneri mendengus. Ia melemparkan batu kerikil ke sungai. Kebiasaannya saat sedang merasa kacau.

.
.
.
To be continue...

TSP (The Six Prince): A Story of Konoha High School (KHS)Where stories live. Discover now