21. Luka yang Membekas

12.5K 1.6K 108
                                    

Di hari ke tiga aku dirawat, Indah datang menjenguk. Ia hanya sendirian. Aku sendiri kurang paham dari mana dia tahu aku ada di sini. Waktu kutanya, dia hanya menjawab tahu dari surat dokter yang diberikan ke tempat kerja. Siapa yang memberikan? Kemungkinan besar Tama. Namun, pada akhir hari itu aku baru tahu kalau Tama bahkan tak pergi ke tempat kerjaku, surat itu ia kirim lewat layanan ojol.

Di hari itu juga Indah tahu hubunganku dengan David sudah berakhir. Dia sempat menanyakan kenapa David tidak tahu aku sakit apa. David bahkan terlihat tidak nyaman setiap kali Indah bertanya mengenai keadaaanku. Aku juga tak berniat menutupi, apa yang ada ya itu yang kuceritakan. Maksudku, tentang berakhirnya hubungan kami, untuk alasan kami putus, cukup aku dan David yang tahu. Bahkan sampai sekarang aku belum menceritakan kejadian aslinya pada Tama.

"Tadi si Hery maksa ikut, tapi ingat sifatnya dia, aku tolak. Aku yakin dia kemari bukan mau jenguk kamu tapi mau kepoin hubungan kalian."

Aku tertawa pelan mendengar ucapan Indah. Ia lantas menyuapkan sepotong buah jeruk, yang ia bawakan untukku, ke dalam mulutnya sendiri.

"Aku pun heran. Kalian berdua kemarin-kemarin kayak lovey-dovey banget. Tapi mendadak si David ah-oh ah-oh aja kalo ditanya soal kamu. Kamu juga kenapa HP-nya nggak aktif sih? Bikin orang panik aja. Aku kira kamu sakit parah, sampai harus dibawa ke rumah sakit. Nggak tahunya cuma benjol aja. Udah kempes pula benjolnya. Lebay!"

Aku kembali tertawa. "Mbak Indah bilangin gih sama dokternya, aku nggak kenapa-kenapa tapi dipaksa nginep sini. Ini aku boleh duduk gini, baru hari ini lho. Kemarin-kemarin suruh baringan total. Nggak boleh ke mana-mana. Kan kesel!"

Ganti Indah yang tertawa. Kami lantas lanjut mengobrol untuk lima belas menit kemudian. "Ya udah aku balik dulu ya. Jam makan siang udah mau habis. Semoga cepet sembuh ya."

Aku mengangguk dan Indah beranjak dari tempat duduknya. Ia hanya tahu kepalaku benjol ini karena aku bertengkar dengan David. Murni kecelakaan, kataku. Kalau Indah menduga-duga kejadian yang sebenarnya, aku tidak tahu. Entah berapa banyak kebohongan yang akan kubuat nantinya.

Suasana kembali hening setelah Indah keluar dari ruangan. Hanya tinggal aku seorang saja, Tama sedang bekerja. Sedari pagi dia sudah pergi, janjinya sih akan kembali di jam makan siang tapi sampai sekarang belum terlihat juga batang hidungnya.

Aku lantas mengambil piring di atas meja di samping brangkarku. Aku membuka penutup plastiknya dan mulai makan. Sesekali mataku menatap ke arah televisi yang tengah menampilkan acara kartun. Saat itu rasanya hidupku benar-benar hening. Atau lebih tepatnya aku merasa kesepian.

Tiga hari aku ada di sini dengan didampingi Tama. Kalaupun ditinggal, tak pernah sampai lebih dari setengah jam. Namun, pagi ini dia pergi karena dokter sendiri mengatakan kalau aku sudah boleh duduk. Pagi tadi aku masih merasa "ramai" karena masih banyak aktivitas yang terjadi di sekitarku. Sekarang, ketika tak ada siapapun di sini otakku jadi memikirkan lagi tentang hubunganku dengan David.

Aneh ya, bagaimana mungkin otakku tak bisa lepas darinya, selalu memikirkan David. Setiap ucapannya, gerak-geriknya, kebiasaannya, mimik wajahnya, bahkan setiap momen yang kami bagi bersama. Rasanya semua hal di sekitarku mengingatkanku padanya. Aku ini patah hati atau sedang eror?

Tak terasa bulir bening kembali jatuh dari pelupuk mataku. Bersamaan dengan itu gemuruh terdengar dari luar. Langit yang kelam menandakan sebentar lagi hujan akan turun. Mataku memandang kosong ke arah jendela kaca di sana. Terus menatap ke sana hingga akhirnya hujan turun satu-satu lalu terjun bersamaan dengan derasnya.

David itu manis sekali, pernah satu kali aku hampir terlambat bekerja karena hujan deras. Waktu itu David sudah ada di perpustakaan sedangkan aku masih bergelut di teras rumah sambil menggerutu karena order ojek online-ku sudah dibatalkan tiga kali dengan alasan yang sama; hujan deras. Aku sudah bersiap menyerah dan akan memesan taksi online dan merelakan uang terakhir di dompet untuk jadi ongkos ketika kulihat sebuah motor matic melaju mendekat ke kontrakanku. David datang, lengkap dengan jas hujan merah jambu yang dia pinjam dari salah satu staf perpus.

Status: It's ComplicatedWhere stories live. Discover now