20. Patah Hati Pertama

14K 1.6K 99
                                    

Usai mandi aku meraih tas jinjing yang ada di atas kabinet. Cukup sulit untuk membongkar tas itu karena aku hanya bisa menggunakan satu tangan. Saat kubuka ritsletingnya, aku dibuat heran dengan baju-baju yang ada di dalamnya. Kukira Tama akan membawakan baju-bajuku tapi ternyata yang ada di dalam sini entah baju milik siapa. Semua baju-bajunya berupa baby doll dengan kancing depan. Dan lagi, aku dibuat merona saat melihat dalaman yang ada di sana. Semuanya masih baru, bra dan celana dalamnya maksudku, hanya saja ukuran branya satu cup lebih besar dari milikku.

Sekali lagi aku bersusah payah untuk mengenakan baju itu. Terutama saat mengenakan atasannya. Aku harus berhati-hati saat memasukkan tanganku yang terinfus ke dalam lubang lengannya. Selesai aku memakai baju, tubuhku sudah berkeringat lagi. Rasanya percuma saja aku mandi.

Tak lama kemudian kudengar suara pintu dibuka. Dari lorong pendek itu kudengar suara Tama yang menanyakan apakah aku sudah selesai memakai baju. Saat kubilang kalau aku sudah selesai, langkah kakinya terdengar. Ia berjalan masuk dan membereskan baskom beserta baju kotorku tadi. Sekali lagi aku dibuat merona saat melihat Tama memasukkan baju kotorku ke dalam plastik karena aku tahu di dalam tumpukan baju kotor itu ada baju dalamku dan tali bra berwarna merah sempat terselip keluar dari sela-sela kemejaku.

"AC-nya kurang dingin?" tanya Tama saat melihatku. "Kamu keringetan. Mukamu merah."

Terima kasih, berkat ucapannya kuyakin mukaku tambah merah karena bersemu.

"Sampai ke telinga," imbuhnya. Aku langsung menunduk dan berusaha menciutkan tubuhku.

"Cuma kepanasan habis ganti baju," lirihku tanpa melihat Tama.

Kalau ada hal yang lebih menyebalkan dan memalukan dari hal ini, itu hanya satu. Aku merasa kandung kemihku sudah penuh. Aku mengerang dalam hati karena aku benar-benar ingin pergi ke kamar mandi. Bodohnya aku tadi tak langsung pergi ke kamar mandi saat Tama keluar. Sekarang aku menyesal dan hanya bisa berharap supaya Tama keluar kamar, entah terserah apa urusannya.

Namun, harapan hanya harapan. Tama justru duduk manis di sofa dan membuka laptopnya. Dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya dia mulai memperhatikan dengan serius dokumen apapun yang ada di hadapannya. Aku sendiri berusaha mengalihkan perhatianku. Sebisa mungkin menahan keinginan untuk ke kamar mandi sampai waktu merokok Tama tiba.

Sesekali Tama terdiam menatap layar laptopnya, keningnya sedikit mengerut. Lalu ia akan kembali mengetik sesuatu. Sesekali juga ia akan membuka ponselnya atau menggoreskan penanya ke atas buku catatannya.

Orang bilang seorang pria akan terlihat lebih menarik dengan kadar ketampanan dua kali lipat saat ia sedang serius mengerjakan sesuatu. Kurasa hal itu benar. Tama benar-benar tampak hanyut dalam dunianya sendiri. Ekspresi wajahnya saat ini jadi semakin menonjolkan garis wajahnya yang tegas. Dari posisiku sekarang, aku bisa melihat 70% wajah Tama dari sisi kanannya. Alis matanya yang tebal itu hampir tak tertutupi bingkai kacamata yang ia kenakan. Matanya yang cekung selalu fokus menatap depan. Aku cukup kagum melihat hidung Tama yang bangir, seperti hidung orang kaukasia padahal mama dan papa memiliki bentuk hidung yang tergolong biasa. Kata mama untuk yang satu itu Tama mewarisi gen dari buyutnya. Bibir Tama yang berlekuk dan tipis itu kadang menggumam pelan, kadang berdecak, kadang ditipiskan lagi oleh si empunya. Rahangnya yang kokoh itu mulai ditumbuhi rambut-rambut halus, atau lebih dikenal dengan nama five o'clock shadow, membuat Tama tampak lebih "laki" di mataku.

Pandanganku lantas turun sedikit mengarah pada tonjolan tempat kelenjar tiroidnya berada. Mungkin dari sanalah Tama mendapatkan suara yang dalam sekaligus terdengar renyah. Tawa Tama juga enak didengar; tidak terlalu keras ataupun menggelegar apalagi melengking. Setiap kali berbicara, dia mampu menarik perhatian lawan bicaranya secara penuh. Seolah memang suaranya sewibawa itu. Mungkin...itu dia peroleh dari tuntutan pekerjaannya.

Status: It's ComplicatedWhere stories live. Discover now