27. Cerita Dalam Secangkir Kopi 2

10.1K 1.4K 79
                                    

Angin malam berembus semakin kencang, semakin dingin. Padahal siang tadi Bandung begitu panas membara. Tapi sekarang? Sekarang aku menggigil. Entah karena aku kedinginan atau karena sekali lagi ada mantra tak kasat mata yang berembus bersama angin yang membuat tubuhku serasa menggigil.

"Keguguran Mila yang ke dua itu bikin dia stres berat. Segala bujuk rayu, atau apapun yang kuusahakan nggak mempan lagi buat dia. Bahkan waktu kuajak main ke rumah juga dia menolak. Mila benar-benar terluka dan menyiksa dirinya. Itu sebabnya beberapa waktu sebelum Mila pergi, dia jarang main ke rumah. Karena apapun di dunia ini udah nggak menarik lagi buat dia. Semua kosong. Semua semu.

"Suatu hari, aku kecolongan jagain dia. Mila pergi diam-diam pakai mobilku dan beberapa jam kemudian aku ditelepon pihak rumah sakit kalau Mila mengalami kecelakaan. Aku sempat berpikir hari itu memang sudah direncanakan Mila. Dia sengaja ingin mengakhiri hidupnya. Tapi rasa sayang, rasa cinta yang kupunya menolak mentah-mentah fakta itu. Bahkan ketika semua bukti mengarah ke sana, aku masih belum terima kenyatan itu."

"Teh Mila nggak mungkin bunuh diri, A. Nggak mungkin!" bantahku dengan suara tersekat.

"Aku berharap juga begitu, Ta. Tapi beberapa hari setelah pemakaman Mila, aku nemu buku diary-nya. Beberapa lembar terakhir isinya curahan hati dia yang bilang kalau dia nggak berguna. Nggak ada artinya dia hidup lagi. Dia merasa gagal menjaga anak kami dan di akhir dia menulis ucapan selamat tinggal dan berjanji akan segera menemui anak kami di surga."

Aku tertegun kehabisan kata-kata. Aku tak bisa mepercayai hal ini begitu saja.

Cerita Tama begitu pilu hingga mulutku terbungkam. Entah berapa lama kami saling terdiam. Duduk bersama tanpa ada kata terucap. Kopi di tanganku juga mulai dingin.

Lalu saat itulah tiba-tiba otakku mengingat sesuatu. Aku menoleh pada Tama yang menatap kosong mug di tangannya.

"Yang di rumah sakit itu, waktu Aa nunggu aku, Aa minta kamarku dipindah...itu..."

Tama menoleh padaku. Tanpa harus kuselesaikan kalimatku, dia sudah paham. Tama mengangguk pelan.

"Iya. Suara rintihan dari bilik sebelahmu bikin aku ingat Mila waktu terbaring di rumah sakit. Keguguran dan harus menjalani kuret memang nggak bisa kurasakan sakit fisiknya, Ta. Aku cuma tau Mila kadang merintih sakit setelah dikuret. Tapi...anak itu milik kami berdua. Aku tahu rasa kehilangan itu. Sama besarnya seperti yang dialami Mila."

Aku tak menyangka cerita ini yang melatarbelakangi niat Tama waktu itu untuk memindahkan kamarku. Walau baru beberapa jam dia mendengarnya, suara rintihan wanita itu pasti membawa kenangan buruk bagi Tama. Aku ingat saat aku terbangun beberapa jam sebelum kamarku dipindahkan waktu itu Tama masih terjaga. Wajahnya terlihat tegang sekaligus lelah.

"Pasien yang ada di sebelahmu itu harusnya ada di kamar khusus kan, Ta. Harusnya di ruang nifas. Tapi malam itu, waktu pasiennya datang, aku dengar perawatnya bilang kalau ruang nifas penuh. Sementara harus satu ruangan sama kamu. Saat dengar itu, saat detik itu juga aku udah nggak bisa mikir. Yang ada di otak cuma cara supaya bisa cepet pergi jauh-jauh dari sana. Aku nggak tahan karena ingatan tentang Mila jadi banjir di otakku."

"...."

"Itu sebabnya juga aku tahu kamu susah pakai bra wak-- Aduh!"

Aku pukul mulut Tama yang dengan kurang ajarnya melontarkan kalimat laknat itu. Dalam suasana seperti ini, bisa-bisanya dia mengatakan hal itu. Apa dia tidak tahu aku sedang merenungkan semua kejadian yang ternyata banyak kulewatkan. Aku sedang berusaha bersimpati padanya. Aku bahkan tidak sempat mencerna semua cerita Tama tadi dan dia malah dengan gampangnya melontarkan kalimat itu?!

Tama tertawa. "Ayolah. Aku cerita kan bukan biar kamu nangis. Aku cerita karena pengen berbagi aja. Mama suruh deketin kamu biar nggak sedih lagi, kamu malah nangis. Gagal dong misiku."

Status: It's ComplicatedWhere stories live. Discover now