22. Rasa Sakit yang Harus Dinikmati

12.2K 1.4K 118
                                    

Aku menggeleng. "Kata bunda semua rasa sakit bisa sembuh. Itu semua hanya perkara waktu. Jadi, nggak apa-apa."

Aku berkata demikian tapi hatiku enggan berbohong. Hatiku sudah panas dan sakit mendengar kalimat David. Kalau sudah tahu luka itu akan membekas, kenapa dia masih melakukan hal itu padaku? Masih berani bertanya pula.

"Aku jahat ya, Ta?"

Iya! Tapi aku enggan mengatakannya.

"Nggak seharusnya aku memperlakukan kamu begitu. Aku...aku nyesel, Ta. Maafin aku ya?" Lalu David tertawa kering. "Maaf, aku nggak seharusnya lancang minta dimaafkan oleh kamu. Kamu mau pukul aku nggak, Ta? Buat balas itu." David menunjuk luka di keningku dengan matanya.

Aku menggeleng. "Aku pengen sih, bang. Tapi nggak boleh sama bunda. Membalas itu bukan bagianku. Abang tahu nggak sakit yang di kepalaku itu nggak seberapa. Karena luka ini, berhari-hari aku nggak boleh duduk, harus tiduran terus, abang tahu rasanya? Belum jarum yang tertanam di tangan aku selama seminggu. Mau ngapa-ngapain susah bang. Kepala sakit, tangan sakit... Tapi itu semua nggak seberapa sama apa yang abang lakukan ke aku. Aku percaya sama abang. Aku nggak sakitin abang tapi abang tega begitu sama aku."

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kukatakan. Pokoknya aku keluarkan semua apa yang kurasa. Urusan mikir, belakangan!

"Kalau abang ada tunangan, bilang dong sama aku. Jangan bikin aku baper, bang. Nganterin ke sana-sini, ngajak makan bareng, kenalan sama mama. Ikut ke panti terus kenalan sama bunda. Abang nggak seharusnya nembak aku! Abang itu punya tunangan! Abang tuh jahat!" seruku lalu mulai terisak pelan.

"Iya, Ta, aku salah. Maaf."

"Abang pikir permintaan maaf abang ada gunanya?!

David tersenyum. "Kalau maaf ada gunanya, buat apa ada polisi, iya kan? Itu kalimatnya Dao Ming Tse-"

"Nggak lucu!" semburku. Sempat-sempatnya dia tersenyum?!

David langsung mengatupkan bibirnya. Aku mengusap cepat lelehan air mataku. Pokoknya aku tidak boleh menangis! Apalagi di depan David. Tidak!

Kami terdiam untuk beberapa saat. Aku diam karena memang malas bicara lagi. Takut malah akan mempermalukan diri. Kalau David, mungkin dia tengah menyusun kata-kata manisnya. Ih kesal! Palsu! Semua palsu!

"Aku sama Nad-"

"Jangan berani sebut nama perempuan itu di depanku!" sahutku.

David berdeham sambil mengangguk. "Aku sama dia memang dulu tunangan, Ta. Dulu banget. Lantas kami putus di tengah jalan. Sudah setahunan. Waktu aku nembak kamu tahun baru kemarin, aku memang lajang. Aku nggak lagi menjalin hubungan sama siapapun. Aku berani sumpah, Ta." David mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya padaku.

"Terus yang kemarin itu apa? Kalian balikan? Aku udah mikir baik-baik ya, bang selama di rumah sakit. Nggak mungkin dia datang ke kontrakan abang kalau nggak abang izinkan. Dia punya kuncinya pula! Apa namanya kalau abang sendiri memang nggak menyambut dia kembali?!"

"Aku...aku...aku salah, Ta."

"Iya, memang abang salah!"

"Maaf."

"Itu aja yang bisa abang bilang?!"

"Aku nggak tahu lagi harus bilang apa. Apapun yang kulakukan nggak ada pembenarannya, Ta. Aku lajang...sumpah lajang waktu aku nembak kamu. Hubunganku dan dia sudah berakhir jauh-jauh hari. Hubungan kami nggak disetujui."

"Kalau nggak disetujui, kenapa bisa tunangan? Abang jangan main-main ya sama aku!"

"Tenang dulu, Ta. Kamu jangan emosi. Aku baru mau jelaskan, kamu udah potong ceritaku."

Status: It's ComplicatedDonde viven las historias. Descúbrelo ahora