24. Jalang Kecil

12.9K 1.5K 45
                                    

"Makasih, pak," ujarku pada driver ojol yang baru saja mengantarku pulang. Setelah kuserahkan uang dan kukembalikan helmnya, aku bergegas lari menuju rumah.

Hari sudah malam dan langit Yogyakarta memutuskan untuk mencurahkan tampungan airnya malam ini. Beruntung sampai detik ini hanya gerimis yang baru turun. Jadi aku masih sempat pulang dalam keadaan kering.

Sudah sampai di teras aku merogoh tas untuk mencari kunci rumah dan membuka pintu. Tanganku meraba dinding dengan serampangan guna mencari saklar lampu. Sudah ruang tamu menyala, sepatuku kulepas asal dan aku segera menghempaskan tubuhku ke sofa seusai menutup pintu. Kembali tanganku merogoh ke dalam tas untuk mencari ponsel. Layarnya menampilkan papan penilaian peforma driver ketika aku membuka kunci ponsel. Sudah selesai memberikan penilaian, jemariku bergerak cepat menutup aplikasinya dan men-dial deretan angka yang sudah kuhafal di luar kepala. Benda tipis 6 inci itu lantas kutempelkan di telingaku. Kini aku menunggu...

Nada sambung dari ujung sambungan itu tak kunjung berhenti. Lama-lama aku jadi semakin tidak sabar. Kulirik jam di dinding menunjukkan pukul 09:15 malam. Seharusnya orang yang tengah kutelepon ini sudah senggang.

Aku berdecak kesal karena panggilan pertamaku tak diangkat. Kembali ibu jariku menekan ulang tombol telepon. Aku kembali menunggu. Kini tambah tak sabar, sebelah tanganku yang bebas mengepal dan memukul-mukul pelan pahaku.

Aku hampir mengerang frustrasi ketika kukira panggilan ke dua ini tak akan diangkat lagi. Namun tepat ketika aku akan mematikan sambungan, nada tunggu itu berubah jadi suara sapaan seorang wanita yang belakangan ini sangat kurindukan.

"Halo, Lita? Kenapa malam-malam telepon?"

Mulutku terbuka hendak membalas sapaan itu. Namun, terhenti seolah seluruh tenagaku habis begitu saja. Belum juga sapaan keluar dari mulutku, pikiranku sudah terbang ke mana-mana.

"Bunda..." bisikku pada akhirnya. Tenagaku sudah habis. Kalau bunda ada di sini, aku ingin memeluk sosoknya dengan erat. Aku lelah, bunda, inginku mengeluh.

Aku tak ingin cengeng...tapi satu-satunya hal yang bisa kulakukan saat ini hanya menangis. Aku mencurahkan semua luapan emosiku dalam tangisan. Tak peduli jika harus sampai tersedu-sedu. Tak peduli meski bunda di seberang sana sampai kebingungan karena sikapku yang tiba-tiba seperti ini.

Pertemuanku dengan pria paruh baya yang mengaku sebagai ayah kandungku tempo hari memberikan shock therapy untukku. Hari itu...aku sama sekali tidak menduga bahwa Tuhan akhirnya memutuskan untuk mempertemukan aku dengan orang yang secara diam-diam kupertanyakan keberadaannya. Tidak seperti yang kubayangkan, pertemuan kami waktu itu benar-benar...bagaimana aku mengatakannya?

Siang itu ketika matahari sedang terik-teriknya, guntur seolah menyambar begitu saja. Begitu kontras dengan cerah dan panasnya cuaca hari itu. Sangat tidak terduga. Mengejutkan? Pasti. Membuat heran? Tentu.

Dua puluh lima tahun lebih kujalani hidupku tanpa sosok ibu apalagi ayah. Semua hanya dalam angan-angan semata. Aku pernah membayangkan skenario pertemuan dengan orang tua kandungku tentu saja. Namun, tidak pernah (berani) berkhayal bahwa beliau adalah seorang yang berasal dari kelas sosial atas dan bergelimang harta.

Siang itu, pria yang baru kuketahui keberadaannya itu mengaku sebagai ayah kandungku. Bahkan namanya aku tak tahu tapi dia sudah terlebih dahulu berlutut di depanku dan memeluk kakiku sambil berucap berulang kali bahwa dia memiliki darah yang sama dengan darahku. Kata maafnya siang itu ia rapal bagai mantra hingga kata umum itu jadi terdengar asing di telingaku. Saat tak memperoleh jawaban atau respon apapun dariku, dia menangis dan berjanji membuktikan bahwa kami memiliki DNA yang sama.

Status: It's ComplicatedWhere stories live. Discover now