4. Chit-Chat

17.7K 2.3K 139
                                    

"Aa nggak bisa giniin aku terus!" seruku sambil membanting tas ke sofa tunggal di sebelah Tama lalu duduk di sana. "Aku udah gede. Aa nggak bisa perlakukan aku kayak abege terus!"

"Bisa! Jelas bisa."

"Aa juga tadi pergi sama perempuan itu. Perempuan yang udah bikin mama masuk rumah sakit. Aku diem aja. Aku nggak protes ataupun ngadu ke mama."

"Aduin aja!" Tama menatapku, menantang.

Mataku menyipit, menatap sengit. "Oke! Aku telepon mama sekarang."

"Jangan gila, Ta!" seru Tama. Tangannya mencekal pergelangan tanganku ketika aku akan meraih tas.

Aku menarik tanganku dari cekalan Tama tapi percuma. "Aa takut mama masuk rumah sakit lagi? Atau takut mama marah sama Aa?"

"Masalahmu apa sih?! Kamu seneng ya lihat aku sama mama berantem? Bahagia lihat mama ngusir aku terus-terusan?!"

Kusentak kencang tanganku hingga terlepas dari cekalan Tama. "Aa nggak berhak ngomong gitu ke aku! Bukan aku yang bikin mama sakit. Bukan aku yang bikin mama marah ke Aa. Dan, bukan aku yang mengencani perempuan murahan itu!"

"Jaga bicara kamu, Lita!"

"Kenapa?! Aa nggak terima pacarnya kukatain? Kalau dia nggak murahan, harusnya dia bisa jaga diri! Kalau Aa nggak terima pacarnya kukatain, harusnya Aa jaga dia! Nikahi kalau perlu!

"LITA!"

"APA?!" dadaku naik-turun seiring dengan napasku yang menderu.

Tama menggeram. Matanya memerah karena amarah. Napasnya juga memburu, sama sepertiku. "Kamu masih kecil! Nggak ngerti apapun!"

Giliran aku yang menggeram marah. "Aku udah dua lima, A! Aku lebih dari sanggup untuk jaga diriku sendiri. Selama ini aku baik-baik aja. Biarpun aku hidup di kota yang sama dengan Aa, selama ini aku bisa ngurus diriku sendiri. Semua kulakukan sendiri, dari angkat galon sampai benerin lampu mati, semua kukerjakan sendiri. Aku udah gede. Aku udah punya kerjaan tetap. Aku berhak kalaupun aku ingin menjalin hubungan sama lelaki. Aa yang harusnya diruwat!" kataku terengah.

Tama terlihat terkejut dengan kata-kataku. Akupun sama. Kurutuki diriku sendiri. Kok jadi diruwat sih? Harusnya bukan kata itu yang kulontarkan padanya. Namun aku terlalu marah dan tak terima terus-terusan diperlakukan seperti anak kecil untuk memikirkan kata yang tepat.

"Diruwat kamu bilang?!" Muka Tama sekarang ini seperti orang marah yang berusaha menahan tawa.

"Iya! Aa tuh kerasukan setan! Makanya bisa aja tergoda sama perempuan murahan! Aa yang harusnya diawasi kayak anak kecil, bukan aku!"

"Begini aslinya kamu? Mama tahu kamu bisa ngomong begini? Mana Lita yang sering dibanggain mama sebagai perempuan lemah lembut dan anggun?"

Aku kembali menggeram. "Biar! Aa udah mengusik kebebasanku. Aa nggak berhak ngatur-ngatur hidupku begitu! Mending Aa pulang sekarang." Aku berdiri lantas menggeret tangan kanan Tama. Cukup susah, mengingat tenagaku yang jelas kalah kuat dari Tama.

"Kamu berani ngusir Aa kamu sendiri?" tanya Tama tak percaya. Tubuhnya masih tak bergeming.

Aku tak menggubrisnya dan terus berusaha menyeret Tama keluar dari rumahku. Namun, jangankan menyeretnya keluar, untuk membuat Tama berdiri saja aku tak bisa. Hingga akhirnya aku hanya mampu menggeram sambil menatap sengit padanya. Kuhempaskan begitu saja tangan Tama. Kusambar tasku dari atas sofa lalu aku berderap menuju kamar. Kubanting pintunya saat aku sudah di dalam.

🌟🌟🌟

Kutunggu nada sambung di ponselku berubah jadi sebuah sapaan. Kubenarkan letak headset di telingaku dan kuletakkan ponselku di atas perut. Selama menunggu, aku berbaring santai sambil mengamati langit-langit kamar. Hari Minggu memang hari bersantai!

Status: It's ComplicatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang