~*~*~*~*~

Kala maniknya terpejam, terlintas beragam kenangan di dalam kepala Aleah. Entah yang paling manis, atau sekadar yang paling mudah diingat.

Sebagai contoh kenangan, ia membayangkan dirinya yang sedang menggandeng Kirika. Pada saat itu keponakannya masih berumur empat tahun. Mereka mengenakan jas hujan serta sepatu bot anti air. Bersama-sama mereka melewati hujan, pun sengaja melompat ke genangan air di bak pasir. Kirika menyenangi melihat percikan air yang ia pijak, tawanya mengundang kesenangan yang meledak-ledak di hati Aleah.

Namun, sayangnya kenangan itu harus buyar dari kepalanya secepat angin panas menerpa dedaunan di luar sana.

Ya, meskipun bersantai, Aleah tidak akan pernah tenang jika mendapati Silvis terus-terusan melempar pandangan kalut keluar jendela. Iris keemasannya tertuju kepada punggung suaminya yang sekali lagi terkulai lemas seusai ia membuang napas panjang-panjang.

Sepertinya tidak perlu lagi menerka-nerka apa yang sedang ia pikirkan. Sebab sesungguhnya, Aleah juga sedang memikirkan orang yang sama. Dia sendiri paham. Bagi Silvis, merupakan hal yang menyebalkan tidak berhasil membawa Kirika pulang, konon lagi dalam situasi seperti ini.

Akan tetapi, justru Aleah memaklumi segala keputusan Kirika. Betapa ia mengerti apa yang sedang dilakukan keponakannya.

Dia tahu, Kirika bukan orang yang senang menghambur-hamburkan uang kalau hal itu memang diperlukan guna menghibur diri atau apalah. Keponakannya juga tak begitu menyukai pergi ke luar negeri jika tidak punya urusan. Meskipun mampu mengonsumsi minuman berkadar alkohol di bawah empat puluh persen, Aleah juga tahu Kirika bukan tipe peminum.

Kirika sudah dewasa, baik secara fisik maupun pikiran. Jadi, mungkin ia tidak perlu khawatir sebagaimana Silvis sedang bersikap resah hingga detik ini.

Berakhir wanita empunya rambut senada kunyit itu menghampiri Silvis. Tanpa meminta izin, ia memeluk suaminya dari belakang. Dia tahu Silvis tak akan pernah menolak. Malah, Aleah mendapatkan kecupan mesra tepat di salah satu punggung tangannya.

Ketahuilah, sentuhan Aleah sudah seperti sihir penenang bagi Silvis. Isi kepala yang hampir meledak karena hati memendam cemas setidaknya sedikit mereda.

"Dia hanya membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikiran. Kadang-kadang ia butuh melakukan hal yang sedikit kekanakan untuk itu." Aleah memecah hening. "Jangan khawatir, dia pasti akan cepat pulang kalau sudah puas bermain hujan."

Ibu jari Silvis berhenti mengusap punggung tangan Aleah selagi netra birunya jatuh kepada kulit sang istri yang bersih. Genggamannya mengencang, tetapi tak bermaksud menyakiti.

Demikian Silvis mengangkat pandangan kepada hujan yang menyisakan rintik-rintik. Seusai meletuskan dengkusan untuk kesekian kalinya, ia pun mulai menyuarakan tanggapannya.

"Aku tahu."

Hanya itu?

Ya, hanya itu.

Namun, sedikit pun Aleah tidak marah. Kepalanya sekadar meneleng penuh sabar, pertanda ia sedang memancing lawan bicaranya agar mau menuangkan segala keluh kesah.

"Aku hanya tidak menyangka perkara ini akan sampai begitu jauh, Aleah." Kembali ibu jarinya mengusap perlahan punggung tangan sang istri. "Kupikir ... kita terlambat—"

"Lebih baik terlambat daripada tidak berusaha sama sekali," tukas Aleah secepatnya. Begitu lembut suaranya seolah nyaris teredam di balik punggung Silvis. "Kita hadapi bersama-sama, ya?"

Aleah sudah berpindah ke sampingnya. Pada akhirnya manik biru laut tersebut menemukan paras cantik yang sedang mengumbar tersenyum lembut.

Silvis membiarkan kepala Aleah bersandar di lengannya. Sebagai balasan, ia merangkul bahu sang istri selagi keduanya memilih menikmati pemandangan halaman samping bersama-sama.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now