Mg; 10

220 45 9
                                    

ma• ngata /mangata/ n bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan.

; Trik sulap sederhana, kamu berikan pada ku untuk membuat terkagum dan selalu berhasil meski sejak lama aku telah tahu bagaimana sulap bekerja.

; Trik sulap sederhana, kamu berikan pada ku untuk membuat terkagum dan selalu berhasil meski sejak lama aku telah tahu bagaimana sulap bekerja

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Beberapa pesan singkat telah ku kirim pada nomor baru El, namun dia tak juga membalas. Jika ku telpon, maka akan segera ditolak tanpa menunggu lama, aku mulai khawatir akan kembali menjalani drama. Meski, kali ini ku harap dia tak akan pindah kosan atau berpesan pada Mamahnya untuk tak memberi tahu ku, jika memang benar-benar berpindah kosan.

Sambil mencari buku referensi di perpustakaan, aku masih menunggu pesan balasan dari El. Begitu buku yang ku butuhkan ketemu, segera ku ajukan pada administrasi untuk peminjaman, lalu bergegas membacanya. Ada tugas makalah yang harus diselesaikan Minggu ini dan presentasi Minggu depannya lagi, cukup sibuk jika mendekati waktu UTS.

Waktu berlalu, sore menjemput. Aku keluar dari perpustakaan, bersiap pulang ke kosan, karena hari ini aku libur kerja maka tidak ada salahnya untuk tidur sambil menunggu malam dan lanjut mengerjakan tugas.

Sepanjang menuruni lift aku jadi teringat malam terakhir yang ku habiskan bersama El, seraya menunggu pagi, El akhirnya tertidur dalam pelukan ku. Dia sendiri mungkin terlalu lelah dan tak sadar, meski hanya duduk di kasur dan memiringkan kepala pada pundak ku tetap saja aku merasa tenang bisa membuatnya ada dalam dekapan.

Pintu lift terbuka dan mahasiswa lain memasukinya, lalu ku lihat salah satu di antara mereka adalah seseorang yang ku kenal.

"El?"

Si pemilik nama menengok ke arah ku dan benar saja dia El, gadis yang ku cari setelah tak membalas pesan dan panggilan yang ku kirim. Karena lift terlalu padat aku menunggu semua orang turun ke lobby, tak lama, ku susul langkah El hingga kami berjalan beriringan.

"Tumben kamu pulang sore,"
"Aku? Ahh~ aku jadi rajin loh sekarang, baru aja aku selesein baca buat referensi makalah di perpustakaan."
"Oiya? Bagus kalau gitu."
"Kamu habis ngapain?"
"Temen ku sidang, aku habis nonton dari jurusan lain."
"Oiya? Padahal aku juga pengen nonton sidang, kapan-kapan ajak aku ya, El."

Langkah El terhenti, dia menatap ku heran sementara aku lebih keheranan dengan raut wajahnya.

"Kenapa El?"
"Makasih karena kamu udah bantu aku waktu di club-"
"Ahh~ itu,"
"Tapi aku lebih nyaman kita punya jarak kayak kemarin, kalau kamu pengen ngehindarin aku lanjutin aja Vey, biar aku juga lebih enak buat ngehindarin kamu."
"Apa? Tu, tu, tunggu, bukan itu maksud aku El."
"Terus? Aku sempet ngira kita mungkin bisa berteman lagi setelah ngeliat kondisi malam itu, tapi enggak, aku gak mau."
"Kenapa El?"
"Harvey, apa sekarang kamu mulai nyesel karena sikap kamu sama aku kemarin?"
"Eh?"
"Mungkin karena apa yang pernah aku bilang jadi kenyataan, tapi nikmatin aja waktu kamu sekarang, nanti kamu juga lupa sama aku dan semua balik kayak semula, baik-baik aja. Aku gak mau kita saling nyakitin."

El mulai menjauh, dia berjalan menuju taman sebelum keluar melalui gerbang. Aku menjegal langkah El, obrolan kami belum selesai dan aku tak ingin berkahir seperti ini.

"Tunggu El, aku pengen kamu denger penjelasan aku."
"Tentang kamu yang ngehindarin aku?"
"Itu keputusan terbodoh yang pernah aku buat El, aku kayak anak kecil, padahal aku tahu cinta gak pernah tahu sama siapa akan bermuara. Maksud aku, ya, kamu juga mungkin gak pernah berencana suka sama aku tapi waktu itu aku terlalu kaget dan belum siap dengan kenyataan aku punya pacar dan temen baik ku sendiri suka sama aku."
"Apa sih Vey, kamu bikin aku kedenger menyedihkan tau gak sih!"
"Bukan itu maksud aku. A, ak, aku cuman bingung El. Aku gak siap kehilangan kamu, aku ngerasa butuh waktu buat nyerna kenyataan."
"Dan kamu udah kembali sadar, gitu maksud kamu?"
"Iyah El, kamu bener. Aku gak bisa, ternyata lebih sulit hidup tanpa kamu dibanding-"
"Basi Vey, kamu ke mana aja? Kamu pergi terlalu lama, kamu lupa kalau aku manusia yang juga punya perasaan."
"Maafin aku El, aku sama sekali gak bermaksud."
"Terus kamu pikir aku sengaja ngasih tau kamu aku pernah suka sama kamu, biar jadi beban buat kamu? Aku gak pernah bermaksud bilang sama kamu, tapi kenapa kamu kayak ngebuang aku? Seolah aku tuh sampah, seolah aku tuh gak pernah pantes punya perasaan itu buat kamu? Kamu pikir gampang mendem perasaan selama tiga tahun lamanya dan beberapa kali jatuh cinta juga patah hati karena orang yang sama? Semua sulit Vey, bahkan sampai akhir kamu buat cerita tentang kita tetep sulit. Aku udah nyoba buat rela, semoga kamu juga segera nemuin kata rela atas diri aku."

Seseorang seperti menamparku dengan keras namun bukan di pipi, tepatnya pada perasaan. Jadi, aku telah menjadi villain bagi El? Ya, aku memang sadar telah berbuat jahat tapi tak mengira akan meninggalkan luka sedalam itu.

"Maaf El, aku..."
"Jangan bikin usaha aku sia-sia, tolong pergi, aku gak mau kita temenan lagi."
"Tapi aku gak bisa, aku gak bisa hidup tanpa kamu."
"Jangan pura-pura, kamu bahkan ahlinya dalam ngebuang aku."
"El, apa pun bakal aku lakuin. Selama kamu mau ngasih kesempatan buat aku, apa pun El, kalau kamu memang butuh waktu kalau kamu memang butuh jarak berapa lama atau berapa jauh pun itu aku akan tunggu."
"Bodoh! Kamu masih gak paham? Aku gak mau!"
"Tapi aku gak bisa, kamu terlalu berarti buat aku."

Air mulai turun dari pelupuk mata, tanpa sadar aku menangis tak mempedulikan sekitar. Tangan El masih ku genggam, bahkan tak sedikit pun ku lepas. Masa bodo jika menjadi tontonan orang-orang, aku hanya telah kehabisan cara dan tak tahu bagaimana harus berusaha.

"Apa yang harus aku lakuin biar kamu maafin aku, El?"
"Telat Vey, beberapa kali aku udah kasih kamu kesempatan tapi kamu gak pernah datang. Aku udah gak bisa."
"El..."
"Lepas Vey, aku mau pulang."

Aku masih berat merelakan kepergian El, membuat kami terjebak dalam keheningan hingga beberapa menit lamanya.

"Kalau itu emang keputusan kamu, ok, tapi tolong jangan ngehindarin aku. Rasanya lebih nyiksa dari apa pun di dunia ini. Aku juga gak mau kamu pindah kelas karena aku. Temen-temen pada kangen kamu, anak pinter yang suka bantu waktu ujian, jawab pertanyaan dosen atau ngajarin mereka. Jangan buang apa yang bisa bikin kamu bahagia karena aku, janji?"

El mulai menangis, garis bibirnya melengkung sempurna ke bawah. Dia menatap ku dengan, entah lah... penuh kata yang tertahan, aku bingung, aku hanya mencoba jujur akan keadaan. Meski hati ku terasa pilu dan begitu perih, tapi tetap saja melihat El lebih pendiam, kehilangan berat badan, jua berjarak dengan teman dekatnya membuat ku jauh lebih terluka.

- catatan; bingung gue sama Harvey, bisa-bisanya masih mikirin El :')
Seperti biasa ya gue gak akan bikin chapter panjang buat series kedua ini, tapi semoga enjoy enjoy aja :)

Ma;ngata

MangataWhere stories live. Discover now