Mg; 07

217 43 3
                                    

ma• ngata /mangata/ n bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan.

; Bagi ku bingkai akan diri kamu tak pernah berubah baik pagi atau malam, semua terlihat indah pun menyejukan selama kamu satu-satunya hal yang menjadi objek netra.

; Bagi ku bingkai akan diri kamu tak pernah berubah baik pagi atau malam, semua terlihat indah pun menyejukan selama kamu satu-satunya hal yang menjadi objek netra

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seorang perempuan berpakaian mungkin bisa ku kategorikan lebih minim bahan dari El datang dengan tas jinjing dan sebatang rokok. Apa yang sedang El lakukan? Club bukan tempat yang akan dia kunjungi dan pakaian yang dia kenakan sama sekali tak pernah masuk dalam daftar baju di lemarinya.

"Kamu lagi ngapain di sini?"
"Temen kamu, El?"

Perempuan itu seperti sedia untuk menjadi juru bicara El, sementara orang yang ku ajak berbicara masih diam seribu bahasa.

"El jawab, kamu lagi ngapain di sini?"
"Bukan urusan kamu,"

Tanpa mempedulikan aku yang nyaris mati menahan rasa penasaran, El melenggang pergi meninggalkan ku seorang diri sementara perempuan itu mengekor.

"Itu El kan? Kok? Ini aku salah liat apa gimana?"

Rei sudah berdiri di samping ku, jangan tanya seberapa terkejutnya dia, sejak tadi berulang kali Rei mengusap mata takut-takut keliru melihat.

"Rei, kamu bisa anterin Selen ke kosan aku?"
"Kosan aja nih Vey? Gak biarin dia pulang ke rumah?"
"Yang ada kamu nanti kena omel orangtuanya, Selen mabuk parah."
"Eh iya, kemarin aku lihat ada yang ketauan sama ibu kos bawa pacar nginep terus diusir,"
"Ha? Sejak kapan ada ibu kos?"
"Mana aku tau Vey, kamu yang ngekos."

Aku menggeleng heran, kosan ku memang terkenal longgar untuk urusan batas membatas antara lelaki dan perempuan, tak masalah mengajak pacar menginap di kamar kos selama tak berbuat gaduh atau menyusahkan tetangga. Pemilik kos memang tak tinggal seatap dengan kami, tapi kadang kala berkunjung selama beberapa bulan sekali hanya saja biasanya ada pemberitahuan lebih dulu jadi aku cukup terkejut dengan pernyataan Rei, ibu kos sangat cerewet dan konservatif juga hanya dia satu-satunya orang yang tak pernah setuju dengan aturan tak tertulis di kosan kami.

"Kayaknya dia bakal ada di kosan aku buat beberapa hari,"
"Kok kamu gak tau ibu kos lagi inspeksi?"
"Minggu ini Selen gak pernah ke kosan,"
"Terus aku bawa dia kemana dong?"
"Hotel gimana Rei?"
"Gila kamu! Masa aku ke hotel sama pacar kamu."
"Lagian kamu juga cuman nganter dia tidur,"
"Iyah sih, tapi kalau ada yang lihat nanti aku dikira tukang tikung lagi."
"Pendapat orang gak penting, yang jelas aku udah ngasih izin. Titip Selen yah Rei,"
"Kamu mau ke mana emang?"
"Aku masih ada urusan sama El."
"Oiya El! Berita besar nih kalau sampe anak kelas tau,"
"Rahasiin tolong, kita juga masih gak tau kenapa dia ada di sini."
"Justru itu, ajak balik El. Tau sendiri kan, banyak banget anak kelas yang suka ke sini."
"Astaga! Aku duluan Rei,"
"Iyah Vey,"
"Kamu hati-hati ya, jangan ngebut."
"Siap Vey,"

Rei pergi, aku masuk ke dalam club. Di table 10 ku lihat ada dua orang pria mendekat pada El dan perempuan tadi, jantung ku berdegup tak karuan. Jangan tanya niat lelaki saat mendekati perempuan di tempat seperti ini, jelas ku katakan tak pernah ada kebaikan terselip di dalamnya. Mereka semua brengsek, termasuk aku yang juga pernah melakukan hal serupa.

El menyadari keberadaan ku, dia mengisyaratkan aku untuk pergi melalui tatapan matanya. Tapi, tidak. Sudah berapa kali aku berusaha dan selalu gagal? Aku bahkan enggan menghitungnya, saat ini El telah di depan mata maka tak akan pernah ku buang kesempatan dengan percuma.

"Saya mau dia,"
"Gak bisa bos, dia ini gak buat dilabelin."

Apa aku tak salah mendengar?

Meski bising tapi suara mereka sangat nyaring membuat ku samar menangkap inti pembicaraan, terutama karena jarak yang telah ku kikis dan kini aku berada di meja yang sama dengan El.

"Sorry coy udah dibooking cari yang lain."

Aku terdiam, bukan karena bodoh dan tak mengerti apa yang lelaki dewasa ini katakan. Tapi karena aku tak mau, sudah cukup semua drama dan keterkejutan ku malam ini, aku jua tak ingin melanjutkannya apalagi dengan bayangan terburuk akan nasib El di tangan lelaki asing. Seberapa pun sulit hidup El dia tak akan pernah menjual diri, aku tahu pasti, ya meski aku tak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Aduh bos maaf, malam ini dia cuman ngikut."
"Saya gak kasih percuma kok, 10 bundel, kalian gak akan rugi."

Perempuan di sebelah El terlihat berpikir serius, sesekali dia menatap El yang kebingungan.

"Gimana sayang, kamu mau?"
"Jangan pegang-pegang tolong,"

Mata ku memicing, darah ku seperti mendidih, tanpa sadar tangan ku mengepal lalu melayangkan tinju pada lelaki asing itu. Berani sekali dia menyentuh El?

"Denger ya brengsek! Temen saya gak buat dijual. Dasar sampah."

Bruk!

Ahh.

Pelipis ku terasa perih.

Rupanya pengawal lelaki tadi tak terima, keributan tak bisa dihindari, kami saling beradu kepalan tangan hingga security tiba dan mencoba untuk merelai. Aku baru saja menyadari, jika sedang dilahap emosi kadang kala seseorang menjadi brutal dan tak terkendali. Selain pengawalnya, lelaki tadi terkapar di lantai.

"Ayo, El."

Tangan ku menarik tangan El, mengajaknya pergi dari tempat bising itu.

Sampai di tempat parkir, ku pakaikan jaket milik ku. Meski terlihat datar tapi aku tahu El sedang menahan rasa takut juga shock. Beberapa menit dicari, akhirnya aku sadar kunci motorku tertinggal di mobil Rei. Sial.

"Itu orangnya, hajar jangan sampai lolos."

Hah.

Nafasku memburu berat, rupanya bukan satu pengawal tapi belasan. Jika tebakan ku tak meleset maka pasti lah dia adalah orang penting, bisa-bisanya El berurusan dengan lelaki macam tadi. Mereka terlihat seperti gengster, siap memukul ku dengan tangan kosong, um, atau mungkin senjata yang tersembunyi dibalik jas.

"Lepas sepatu kamu El,"
"Apa?"
"Mereka bakal ngejar kita, kaki kamu nanti kekilir kalau pakai sepatu macem gini."
"Tapi-"
"Percaya sama aku,"

Air mulai jatuh dipelupuk mata El, aku tahu seberapa menyeramkannya kondisi kami saat ini. Setelah dia melepaskan sepatu haknya, ku pakaikan sepatu milik ku.

"Kamu teken agak ke depan, jangan sampai lepas ya."
"Tapi Vey,"

Kami tak memiliki waktu, ku lakukan semua dengan terburu dan mulai berlari menyusuri malam juga gang-gang sempit ibu kota. Tangan ku mengenggam El sangat erat, apa pun yang terjadi aku tak akan pernah melepasnya.

- dictionary; bundel- istilah untuk menjelaskan harga jasa prostitusi. Satu bundel bisa dihargai ratusan hingga jutaan rupiah, tetapi dalam keadaan yang sebenernya digunakan istilah berbeda dengan pengertian yang sama.

Ma;ngata

MangataWhere stories live. Discover now