Mg; 03

394 60 3
                                    

ma• ngata /mangata/ n bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan.

; Rindu pada hal yang tak bisa ku temu, hanya membuat semua pilu berkumpul padu membuat hati tak lagi bisa mengundang syahdu.

Mini market milik kampus menjadi tempat aku menghabiskan waktu selagi menunggu kelas selanjutnya dimulai, aku tak bisa kembali ke kosan karena Selen masih tidur di sana

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Mini market milik kampus menjadi tempat aku menghabiskan waktu selagi menunggu kelas selanjutnya dimulai, aku tak bisa kembali ke kosan karena Selen masih tidur di sana. Besar kemungkinan Selen akan menahan ku untuk tak berangkat kuliah sementara aku harus memperbaiki nilai di semester ini atau harapan untuk wisuda semakin menjauh.

Selen, sekali pun beberapa teman ku menganggap dia lebih seperti benalu tapi aku mengerti bagaimana sifat menyebalkannya terbentuk. Bukan kah setiap topik broken home akan lebih dominan membawa dampak negatif? Meski mungkin banyak pula yang berhasil bangun dari keterpurukan tetapi tak akan semudah memasukan lollipop ke mulut. Aku menyukai Selen, dia memiliki banyak sekali kesamaan dengan ku dan lebih mudah untuk dirinya memahami ku dibanding perempuan lain, ya, walau tak sebaik El.

Lagi-lagi aku kembali memikirkan El, sudah beberapa hari berlalu sejak sebuah bab ku baca dari website pribadinya tapi hingga detik ini yang terjadi adalah aku tak pernah bisa menghubungi El bahkan kami tak pernah bertemu selepas kelas. Jujur saja, rasa penasaran sudah seperti akan membunuh ku namun aku memilih untuk menahannya, ku pikir untuk mengetahui lebih jauh aku sama sekali belum siap.

"Mikirin apa sih, Bro?"
"Eh, Rei,"
"Rokok?"
"Boleh,"

Tak tahu pasti kapan datangnya, Rei sudah duduk di depan ku memberi sebatang rokok. Dia memantikan api untuk ku, kami melanjutkan aktifitas ini bersama.

"Kamu kayak lagi banyak pikiran, Vey."
"Iya, emang?"
"Yup, padahal kan yang skripsian aku, tapi muka kamu ditekuk terus kayak anak bimbingan yang gak bisa lanjut ngerjain bab II kehalang revisi bab I."
"Ahh~ aku gak mikirin apa-apa kok, biasa aja."
"Masa? Ada masalah di tempat kerja Vey?"
"Gak ada, semua aman."
"Selen, gimana?"
"Um, hubungan kita baik-baik aja,"
"Dia masih suka nginep di kosan kamu?"
"Ya mau gimana lagi? Dia gak bisa pulang, gak punya kosan juga, dari pada dibawa cowok lain ke hotel?"
"Untung kosan kamu campur, coba kalau engga? Kena marah ibu kos entar."
"Gak akan, lagian bukan cuman aku yang suka ngajak pacar nginep."
"Iyah sih, um, terus?"
"Terus apa?"
"Jangan bilang kamu lagi mikirin El,"
"Ha?"
"Ahh~ aku kelupaan Vey,"
"Lupa apa?"
"Aku ngasih tau tentang Selen ke El,"
"Apa!"
"Sorry Vey,"

Aku terdiam sejenak, ada perasaan aneh hinggap. Mendadak hati ku cemas, apa sikap El ada hubungannya dengan yang Rei katakan tentang Selen? Sial. Benci sekali rasanya harus menebak-nebak hal seperti ini, aku tak memiliki jawaban sementara El tak memberi kesempatan untuk ku mendapat jawaban.

"Bilang apa aja, Rei?"
"Um, itu, aku bilang... Selen kuliah di kota ini, dia adik kelas kamu, kalian ketemuan di club."
"Reaksi El kayak gimana?"
"Dia... entahlah, kelihatan biasa aja, tapi kayak dia nyoba nyembunyiin sesuatu cuman aku juga gak tau apa. Lagian aku pikir kamu udah bilang sama El, makanya aku keceplosan cerita."
"Oke,"
"Sorry ya Vey,"
"Gak apa-apa Rei, cepet atau lambat El bakal tau meski bukan dari kamu sekali pun."
"Hm... kalian tuh ada apa sih? Aku gak ngerti dari yang kemarin deket banget tiba-tiba jadi saling jaga jarak."

Ingin sekali aku memberitahu Rei, tapi aku masih belum menemukan waktu yang tepat, aku belum siap mendapat penghakiman jika apa yang ku lakukan pada El adalah kesalahan. Saat ini, menghadapi sikap El saja sudah membuat kepala ku pusing, apalagi harus menerima komentar-komentar tak perlu dari mereka yang hanya sekedar ingin tahu.

"Ada sesuatu,"
"Apa, Vey?"
"Nanti aku bakal kasih tau kamu,"
"Oke... kalau gitu, aku gak maksa ko,"
"Iya,"
"Tapi Vey, apa kamu gak bisa baikan sama El?"
"Um, gak tau, aku juga bingung."
"I don't know it's because we are close friend or we are like brothers, i just feel like you smile a lot when you with her and you look happier, but... don't take it serious, just my opinion."

Seirama dengan batang rokok yang telah habis menjadi asap, aku menengadah menatap langit biru siang ini. Bahagia, ya? Apa benar? Apa semua yang Rei katakan adalah kebenaran? Aku bahkan tak menyadarinya, tapi, ya, ku pikir memang sudah cukup lama aku tak tersenyum lebar. Tak ada yang berhasil menyita atensi ku hingga begitu menariknya.

"El, kayaknya ngeblokir aku di WhatsApp."
"Why?"
"Um, aku gak tau."
"El bukan tipikal orang yang suka ngeblokir, apa ini artinya masalah kalian serius?"
"Menurut kamu apa yang harus aku lakuin?"
"What? Aku bahkan gak tau masalah kalian,"
"Frustasi aku, Rei."
"Ha?"
"Um, just forget it, aku ada kelas Rei, ngulang semester lalu. Duluan ya,"
"Eh? Tapi, kita? Harvey, obrolan kita belum selesai,"
"Nanti kita sambung lagi, bye Rei."

Tak perlu mengulur waktu, aku berdiri lalu bergegas pergi. Beruntung kelas perkuliahan hari ini tak begitu jauh dari mini market hingga aku tak payau menghabiskan waktu untuk menyusuri jalan. Aku tak siap, jika kemudian Rei akan menghujani ku dengan berbagai pertanyaan lebih dalam, maka ku pilih menghindar walau mungkin saat ini aku terlihat seperti seorang pengecut.

Kelas masih kosong, hanya ada putra di sana. Aku tersenyum lalu duduk di barisan depan, meletakkan tas. Ku tengok ke belakang sekali lagi dan Putra masih sendiri tak berteman siapa pun. Harus kah aku menuntaskan rasa penasaran dan bertanya padanya? Ahh, situasi saat ini begitu sulit.

"Put,"

Kata ku, pada akhirnya memilih untuk berjalan ke belakang menghampiri Putra.

"Kenapa Vey?"
"El, masih belum ngabarin aku."
"Ha? Serius?"
"Iyah,"
"Tapi aku udah bilang kok sama El, tadi sebelum masuk kelas aja aku sempet chatan."
"Oiya?"
"Serius, Harvey."
"Tapi, kok?"
"Oh! Atau kamu belum tau?"
"Apa?"
"El ganti nomor WhatsApp."
"Yang bener kamu?"
"Lah? Sumpah,"
"Kalau gitu boleh aku minta?"
"Ahh~ anu, um, coba minta sendiri sama El."
"Kenapa?"
"Soalnya El bilang bakal marah kalau nomornya di sebar tanpa izin, dia bilang ke aku waktu itu dengan sangat serius. Kayaknya dia gak suka kalau ada orang asing yang dapet nomor dia padahal gak pernah dia kasih."
"Tapi aku bukan orang asing,"
"Nah justru itu, aku pikir kamu udah tau."
"Terus gimana dong?"
"Minta langsung aja,"
"Tapi aku gak pernah ketemu El,"
"Oh! Baru inget juga, El ngambil jadwal baru, harinya beda sama kelas kita, maksudnya beda dari jadwal kelas kamu atau aku."
"Apa! Kok bisa?"
"Karena dia pindah kelas waktu perwalian masih dibuka, jadi bisa."

Tubuh ku lunglai, aku bersandar pada kursi. Kini kecurigaan ku menemukan deklarasi pasti bahwa, ya, El sedang berusaha melakukan hal serupa pada ku. Tapi, kenapa semua begitu mendadak? Aku tak siap, belum benar-benar bisa menghadapi sikap El yang mulai menjauh pergi. Ha! Ku pikir aku telah lebih dari sekedar tak lagi membutuhkan El dalam hidup, faktanya aku merasa sedang hinggap dalam bayang ketakutan luar biasa atas kenyataan. Bagaimana ini?

Ma;ngata

MangataDove le storie prendono vita. Scoprilo ora