Farewell Party(2)

Start from the beginning
                                    

"Aku bisa ngejelasin semuanya tapi gak sekarang, kamu mau menunggu?"

Terus saja dia menyuruhku menunggu-menunggu dan menunggu.

"Aku sayang kamu, jadi jangan lari kaya tadi lagi ya."

Aku dari tadi tidak menjawab, aku dengarkan dia sambil memikirkan harus bagaimana kami selanjutnya.

"Nata..." suaraku bergetar hebat. Ternyata malam ini lebih menyakitkan dari malam-malam lain.

"Aku gatau kenapa hari ini rasanya kacau banget, aku juga gatau kenapa kamu belum bisa terbuka sama aku tentang semua yang kamu rasa ataupun tentang ini."

"Aku-

"Dengarin aku dulu!" Dia diam menurut. Untuk kali ini aku ingin di dengar.

"Jujur aku lelah, aku lelah setiap hari ketakutan mikirin kamu bakal ninggalin aku. Aku lelah disaat kamu sama Rea kaya tadi di depan mata aku, aku gak bisa apa-apa. Aku lelah menjadi bodoh dan kebingungan sendiri. Dan aku rasa, masing-masing dari kita butuh waktu. Aku butuh waktu untuk lebih memahami kamu dan kamu butuh waktu untuk terbuka sama aku."

"Nggak Dar, aku gak maksud gitu. Ada hal-hal yang belum bisa aku jelasin tapi untuk itu aku gak perlu waktu sendiri. Kita bisa terus bersama."

"Kita itu apa?"

Kali ini dia diam, tidak bisa menjawab.

"Aku gak bisa mentolerir apa yang kamu lakuin hari ini tepat di depan mata aku tanpa alasan yang jelas. Kamu belum bisa menjelaskan, aku tidak bisa memahami. Lagian gak ada yang harus disudahi diantara kita karena gak pernah ada awal di hubungan yang entah apa namanya."

"Kamu lagi emosi, ayo aku antar kamu pulang!"

"Aku gak emosi tapi aku bingung harus berlaku apa. Kamu itu siapanya aku?! Kenapa aku harus nurut terus sama kamu?!"

"Rea mantan aku!! Ada beberapa hal di diri dia yang belum bisa aku ceritain sama kamu! Puas?!"

Ini tidak baik tapi sungguh aku kaget dengan bentakan dia dan jawabannya. Selama ini aku tidak pernah tau kalau dia pernah pacaran dengan Rea.

Aku menangis sesegukan, aku bersyukur tadi berlari ke taman hotel. Walaupun ada orang setidaknya tidak banyak jadi aku tidak terlalu malu.

Dia merengkuhku, memeluk tubuhku erat lalu aku rasakan satu kecupan tepat di kepalaku.

"Maafin aku." Lirihnya. Dia mengusap punggungku yang bergetar karena tangisan.

"Kamu mau jalan-jalan? Atau mau pulang?" tawarnya.

Aku masih belum bisa menerima jawabannya yang tidak jelas.

"Aku pulang, Rani udah nunggu di depan. Kamu lanjutkan aja acara kamu, aku harap kejadian ini gak ngerusak hari bahagia kamu. Sekali lagi aku tegaskan kita butuh waktu, mungkin setelah ini kamu bisa lebih terbuka sama aku atau mungkin kamu menyadari aku bukan yang terbaik, aku terima. Aku sayang kamu, Nata."

Aku meninggalkannya, dia terdiam di tempatnya sejenak. Mungkin dia kaget dengan keputusanku, tapi aku rasa ini adalah hal yang terbaik untuk kami.

"Dar, Dara!" Aku mendengar sedikit suara teriakannya. Aku tidak lagi ingin tergapai olehnya.

Tapi tidak lagi mengejar. Syukurlah.

Aku bohong, tidak ada Rani yang menjemput karena sedari tadi aku tidak sempat sekedar mengecek ponsel untuk melihat notif yang masuk.

Aku benci dengan diri yang seperti ini, air mataku tidak bisa berhenti keluar membahasi wajah. Entah seperti apa kondisiku kini, mungkin mengerikan seperti monster karena riasan wajah yang luntur?

"Dara!"

Jika saja itu suara Nata, mungkin aku tidak akan menoleh melihat siapa yang memanggilku melainkan terus lari karena aku tegaskan sekali lagi untuk saat ini aku tidak ingin tergapai olehnya.

"Lo... Mau balik?" Tanyanya begitu melihat aku merespon panggilannya. Aku mengangguk lalu menoleh dan berjalan lagi.

"Mau gue anter?" Tawarnya.

"Oke cepetan!" Diluar ekspektasi, aku menyetujuinya. Tidak tau, tanpa alasan aku menerima ajakannya.

Aku mengikutinya ke arah parkiran mobil. Mobilnya ternyata tepat di samping mobil Nata. Astaga aku mewek lagi. Aku sedih karena tadi bisa jadi hari terakhirku bersamanya.

"Udah diam! Masuk cepat, dikira gue habis ngapa-ngapain lo entar!" Aku menurut saja, malas berdebat.

"Kemana ni?"

"Rumah gue!"

"Yaiya rumah lo dimana bambang?!" Aku menatapnya sengit, mulutnya sangat kasar ternyata.

"Nanti gue arahin!"

Diam.

Tidak lagi ada suara.

"Lo tau hubungan Nata dengan Rea?" Tanyaku memberanikan diri. Sedikit banyak aku tau Reno merupakan salah satu teman baik Nata.

"Nata?"

"Aldi maksud gue." Ralatku, aku lupa kalau hanya aku dan keluarganya yang memanggilnya Nata.

"Ooh biar dia aja yang cerita, gue gak punya wewenang."

"Trus alasan lo mau nganterin gue apa?"

"Gapapa, gue kasihan aja liat lo kalau balik sendiri."

Kasihan. Begitu buruk kondisiku sampai harus dikasihani?

Dia menarik beberapa lembar tisu "bersihin muka lo, ntar orang tua lo mikir aneh-aneh lagi ngeliat anaknya pulang bentukannya begini!" dan mengarahkannya ke wajahku.

"Yaudah biasa aja, gue sendiri juga bisa!"

"Astagfirullah!" Aku terkejut ketika berkaca, hancur sudah karya bunda.

Dia menatapku kaget, tapi setelahnya menahan tawa.

"Jangan ketawa lo!"

"Kagak! Emang lo selucu itu apa?" Lagi, mukanya kembali dingin.

Aku tidak pernah berusaha dekat dengan teman-teman Nata. Paling hanya sekedar tau nama saja.

"Lo... Mau mampir makan roti bakar dulu?"

"Hah?" Kaget loh ini dia basa basi kaya gitu.

"Ya siapa tau makan roti bakar bisa buat mood lo membaik gitu."

"Gak usah, tapi makasih tawarannya. Gue cuma mau pulang, diam di kamar dan buat diri gue tenang dengan cara gue sendiri."

Tidak ada lagi suara, hanya keheningan.

"Terimakasih... Reno." Ujarku begitu sampai tepat di depan rumah.

"Hubungi gue kalau lo butuh... Teman?"

Dia sendiri ragu dengan kalimatnya, aku tersenyum menanggapi dan segera masuk ke rumah.

Siap-siap di interogasi.

Siap-siap di interogasi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***
Uwuw note:

Hahhh akhirnya update juga.

Aku gamau cerita ini jadi beban di diri aku. Cerita ini dibuat atas dasar kesenangan aku dalam menulis dan untuk kesenangan kalian dalam membaca.

Jadi, maaf kalau aku selalu lama update.

Maafin ya.

Enjoy this story yow!

BAMANTARAWhere stories live. Discover now