[06] - Wafer Dua Ribuan

Start from the beginning
                                    

Rere tersihir untuk beberapa saat melihat pemandangan di depannya.

Rahang yang tegas, siluet mata yang indah, hidung mancung bak prosotan di kolam renang anak-anak, di tambah lagi cahaya mentari yang masuk lewat jendela terpancar ikut menyorot wajah lelaki itu ...

Sangat bersinar!

Uh! Dilihat dari samping saja aura tampan sejatinya sudah menguar kuat, beruntung sekali Rere pagi-pagi sudah mendapat vitamin penyehat otot matanya begini.

Bola mata Rere bergerak kekanan dan kekiri mengecek sesuatu, baguslah kelas Agam masih sepi, kesempatan emas nih bagi Rere untuk mendekati Agam!

Tuk!

"Aduh!" Rere meringis ketika kepalanya diketuk oleh seseorang, ia menoleh dan melotot ke arah orang itu.

"Ih, Ara! Ngagetin aja."

Orang itu Ara, dia sudah datang ternyata. Kirain siapa tadi huh ..

"Ngapain hayo ngintip-ngintip? Mata lo bintitan ntar!" Cemoh Ara dengan wajah ngeselin.

"Hehe, biasa. Kok kamu bisa tau aku ada disini?"

Ara tersenyum percaya diri, "jangan ragukan firasat seorang Ara."

Rere memutar bola matanya, "jingin rigikin firisit siiring iri." Rere minyi-minyi menyebalkan membuat Ara ingin menabok pantatnya.

"Ara, jagain aku disini ya. Aku mau masuk sendiri, kalau ada banyak orang dateng nanti kode aku aja."

Ara mendelik, "ih, apaan! Lo kira gue satpam apa? Mana di tinggal sendirian disini, kalau ada kakak kelas cowok yang ganjen kayak kemarin gimana?" Protesnya.

Rere mengelus pundak temannya itu, "teriak aja yang keras oke? Serius deh, aku bentaran doang kok."

Ara menghela nafasnya, "serius?"

"Dua rius! Tunggu ya," Rere buru-buru masuk ke kelas Agam.

"Cepetan loh ya! Lima menit!" Peringat Ara. Lalu menempelkan punggungnya di tembok sembari menyilangkan tangannya di depan dada, menunggu Rere disana.

Rere menghampiri bangku Agam perlahan, dilihat semakin dekat begini ... Seriusan makin ganteng, makin deg-degan!

"Selamat pagi, kak Agam."

Lagi-lagi, Rere tak mendapat respon. Agam sama sekali tak berkutik, dia manusia apa patung menekin sih?

Ah, apa dia pakai earphone seperti kemarin ya? Rere pun mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas ke telinga Agam.

Eh?! Dia nggak pakai?

Cepat-cepat Rere menegapkan tubuhnya kembali, malu!

Lalu kenapa Agam tak meresponnya sih? Apa dia tuli? Astaga, mana mungkin.

"Kak Agam kenapa selalu ngacangin aku sih?" Gumam Rere kesal karena terus-menerus di cuekin.

"Karena lo nggak penting."

Jleb!

Singkat, padat, nyelekit!

Rere mengerucutkan bibirnya sedih, sekali mendapat respon Agam pasti selalu menusuk ulu hati.

Agam bahkan masih setia menatap novelnya tanpa melirik Rere sekalipun. Ugh, Rere menjadi iri pada sebuah novel.

"Eh, tapi aku inget. Martabak dikacangin itu biasanya martabak spesial."

Berhasil! Agam kini melirik Rere dengan tatapan datarnya. "Ga ada hubungannya."

"Ada tau! Jadi, kalau aku dikacangin. Itu berarti aku spesial deh, kayak martabak kacang!" Rere nyengir seperti tak punya dosa.

PAYUNG & HUJANWhere stories live. Discover now