There was time when it happened

Start from the beginning
                                    

"Ada tamu buat kamu."

"Na.." 

"Ayakaa." Aku langsung memeluknya erat di pintu masuk. Tangannya mengelus punggungku pelan. 

"It's ok.. i'm here."

"Kamu kenapa ke sini? Gimana kalau-" Aku tidak jadi melengkapi kalimat. Rasanya mungkin sudah cukup berat baginya.

Ia menghela napas lelah. 

"Maafi-"

"Sttt." Aku meletakkan telunjukku di bibirnya menyuruhnya berhenti. Aku tidak mau. Dia tidak perlu minta maaf. "Bukan salah kamu, Ka."

"Tapi mereka fansku." Dia berhenti menatap mataku. 

Aku menyalakan ponselku dan membuka akun media sosialku. Sebab ia mengatakannya, aku jadi tahu bahwa ia merasa sedikit tersakiti karena ini. Jemariku menghapus akun itu di depannya.

"Sudah selesai kan?"

"Iya, tapi belum di antara kita." 

Degub jantungku mengencang. Apalagi ini? Apalagi sih Arsyaka?! Kamu jangan bilang yang aneh-aneh!

"Nggak ada yang perlu diselesaikan."

"Ada." Aku takut mendengarnya. "Mungkin kita harus berhenti mencoba..." Kata-kata itu. Kata kata yang paling benci untuk kudengar harus aku dengar sendiri dari mulutnya. Sekarang. Di depanku. Untuk kedua kali.

Dadaku kembali nyeri.

***

"Ka?"

"Hmm." Ia bangun. 

Semalam aku menangis di kamar seorang diri. Aku tidak lagi menemuinya untuk mendengar bahwa ia kemari hanya untuk mengakhiri hubungan kami. Kukira Arsyaka akan pamit pulang, tetapi ternyata ia masih di sini. Duduk di kursi kamarku.

"Kamu masih di sini." Aku memastikan kalau itu beneran dia dan bukan halusinasiku saja.

"Kamu ngingau terus."

"Oh ya? Bilang apa?"

"Bilang 'Ayaka jangan pergi'."

"Ayaka jangan pergi." Aku mengulanginya lagi supaya lebih jelas itu terdengar olehnya. 

Tangannya kemudian terulur menyentuh pipiku.

"Papa kamu benar, aku nggak baik buat kamu," ujarnya kemudian membuatku tersenyum sarkas.

"Tapi mereka nggak paham tentang kita, Ka." Tentang aku dan dia yang saling menyayangi.

"Na, aku nggak bisa nempatin kamu dalam kondisi kaya gini..." 

Air mataku mengalir pelan. 

"Jadi di sini, hanya tinggal aku aja yang pengen kita ada?" Arsyaka nggak menjawab tetapi tangannya menghapus linangan air mataku.

"Aku sayang kamu."

"Enggak, Ka. Enggak. Kamu nggak sesayang itu sama aku." 

Aku kecewa. Aku sudah tidak mengharap apa-apa lagi. Hanya dia dan dia pun menyerah.

Arsyaka tidak pernah datang lagi setelah itu. Bahkan menghubungiku saja tidak. Aku sudah kembali ke Jakarta dan bekerja. Tetapi aku juga merasakan diriku sedikit berubah. Aku tidak seceria biasanya. Atau meski aku tertawa tetapi aku merasa kosong.

Aku di rumah banyak melamun, meski tidak banyak yang aku pikirkan. Hanya.. hanya soal menjadi bahagia. I know i can't be egocentric that happiness doesn't revolve around me. Hal-hal selalu terjadi di dunia ini dan aku tidak hanya bisa mengharap akan ada akhir yang bahagia. Aku tahu aku masih bisa bahagia dengan cara lain. But the thing is, i was beyond happy, being the happiest with him. Membuatku skeptis untuk memperoleh kebahagiaan yang sama dengan cara lain.

Arsyaka dan kawan-kawannya juga menghilang. Sudah hampir mereda gosip gosip mengenai mereka. Tetapi Arsyaka tidak membalas pesanku. Bhiyan yang biasanya berisik pun juga tidak menjawab pesanku. Aku merasa nelangsa padahal tidak seharusnya. Apakah benar memang, aku hanya seseorang yang kebetulan garis takdirnya bersinggungan dengannya. Tetapi bukan untuk berjalan bersama?

Sampai suatu hari aku menjumpainya di ruang tamuku selepas pulang bekerja. Aya hanya nyengir lebar kemudian pamit undur diri tanpa bercakap lebih lanjut. Aku memilih duduk berjauhan.

"Kamu apa kabar?" Tanyanya. Kepalaku masih berusaha memproses. Untuk apa lagi ia kemari. Apakah kembali menegaskan hubungan kami yang menggantung tak pasti ini menjadi akhir yang sesungguhnya? "Kok diem aja sih? Biasanya juga masih cerewet ngirim pesan."

Kudongakkan kepalaku menatapnya. Masih diam untuk meminta penjelasan.

"Aku minta maaf. Aku tahu aku salah."

"Kamu tuh jahat, Ka," ucapku pada akhirnya.

"Maaf." Arsyaka mendekat. Ia memelukku yang tak mampu menolak rengkuhan itu.

Arsyaka telah membereskan semua. Selama ini dia menghilang untuk merapikan semua kekacauan termasuk juga menunggu agar gosip-gosip yang beredar mereda. Ia sudah berbicara dengan Mama Papanya, juga sudah berdiskusi dengan agensi apa yang terbaik buat kami. Kemarin bahkan ia datang ke rumah Mama Papaku bersama kedua orang tuanya untuk meminta maaf. Aku tidak tahu mengenai itu.

Sesungguhnya memang tidak ada kepastian dari hidup ini. Hidup mati, kaya susah, jauh dekat, sehat dan sakit. Tidak ada yang bisa dipastikan manusia. Tapi setidaknya ada hal-hal yang ingin diusahakan dengan berjanji. Ada cita-cita yang ingin dicapai: bersama. Dalam segala kemungkinan kondisi yang akan kami hadapi nanti.



Dari JanuariWhere stories live. Discover now