Satu dari Sekian

3.1K 404 18
                                    

Ini adalah satu di antara sekian kali aku pulang kerja dalam keadaan menangis. Ditambah hujan di Jumat sore membuat perjalanan ke rumah terasa lama. Bad day does exist. Sekuat apa pun usaha meyakinkan diri untuk selalu melihat apa yang baik di antara hal-hal buruk, bisa kukatakan, there's certain degree of negativity which make life seems sucks, still.

Setelah sampai rumah dan menghentikan tangisku sebentar untuk lebih jelas memarkir mobil, aku menangis lagi. Kujatuhkan barang-barangku sembarang ketika memasuki kamar kemudian kubiarkan diriku duduk memeluk lutut menyandar tempat tidur.

Berat. Hariku sedang berat, entah lah. Dan rasanya kata-kata mengaung di telingaku, berkasar-kasar merendahkanku entah suara siapa itu. Orang lain atau suaraku sendiri. Yang jelas mereka ada di kepalaku dan rasanya kepalaku mau pecah. Aku sedang lelah.

"Na, mau makan nggak?" Entah berapa lama aku menangis hingga Aya datang. "Lho, Na?" Pintu kamarku memang tidak tertutup rapat.

Aya memelukku. "Kenapa?" Yang bingung akan aku jawab dengan apa. Sejujurnya, aku merasa tidak bisa membagikan apa yang kurasa. 

Aku masih menangis saat dilepaskannya pelukan itu pelan. "Hei.." 

Aku tidak tahu harus menceritakan apa. Karena aku hanya ingin menangis. Menangis saja tanpa alasan yang pasti. Atau sesungguhnya aku punya alasan menangis hanya saja semuanya terlalu ruwet di kepalaku. Apa apa yang kutahan dan kusimpan untuk diriku sendiri, terlalu penuh hingga hari ini semuanya menyerah.

"Aku bawain makanan buat kita berdua, mau ya makan?" Tangannya masih mengelus rambutku pelan. Belum aku iyakan karena tidak yakin apakah aku bisa makan. Aya sebenarnya setahun lebih muda dariku. Tetapi kenapa kadang-kadang justru dia yang lebih kakak?

"Aku mau mandi, Ya." Aku berkata setelah tangisku mereda.

Selesai mandi aku keluar tetapi meringkuk di kasur. Terbengong di bawah selimut. Kurasakan kemudian air mataku mengalir pelan lagi meski tidak bersuara.

"Nana.." Aya masuk kamar setelah lama aku tidak muncul. "Kamu nggak mau cerita sama aku?" Tawarnya. Ia duduk di belakang punggungku. 

"Bukannya nggak mau, Aya. Aku sendiri masih belum tahu kenapa." Aku menghela nafas.. "Maaf.." Aku merasa bersalah karena tidak bisa menjadi mudah dimengerti. Aku sendiri tidak mengerti diriku. Bagaimana orang lain. Astaga bisa tidak ya aku sedikit pintar, atau sedikit tidak emosional, atau sedikit dewasa. Menurutmu apakah bodoh saat kau bingung dengan dirimu sendiri. Memangnya bisa kita mengatur perasaan suka suka, hari ini harus bahagia, hari ini boleh sedih? Memangnya dewasa itu apa? Aku sudah tua kenapa tidak cukup dewasa?

"Sama Arsya mau?"

Percuma. Dia juga tidak mudah dihubungi. Aku tahu dia sibuk. Iya, tahu benar dan makanya tidak bisa mengharap support kehadiran. Terakhir bertemu saja 4 bulan yang lalu padahal di kota yang sama. Ini tuh hubungan macam apa sih aku boleh nggak nyerah aja?

"Coba aja," jawabku kemudian. Aya beranjak sepertinya mengambil handphonenya untuk mengirim pesan kepada Arsyaka. Aya memang punya nomornya, lebih sering ditanya tanya sama dia kalau aku sedang tidak bisa mengangkat telepon karena apa.

Entah berapa lama kemudian aku mendengar suaranya. Arsyaka di sini? Hebat betul Aya.

"Tuh, dari tadi sore nangis nggak berhenti." Aku mendengar Aya berbicara kepadanya di depan pintu kamarku. Aku sendiri sudah miring menutup wajahku dengan bantal. Aku yakin sedang dalam kondisi buruk rupa, jelek sekali karena mataku sembab. Tidak ingin dipandangnya dalam kondisi begini. Apa aku suruh pulang saja? Tapi kan aku juga kangeeen. Ah kenapa sih tadi dia mau ke sini?!

Aku mendengar ia melepaskan jaket dan juga tasnya. Meletakkan kedua benda itu di meja. Kemudian duduk di belakang punggungku. Tempat tadi Aya duduk.

Dari JanuariWhere stories live. Discover now