Broke Up

5.4K 526 36
                                    

"Berat ya?" Dia bertanya padaku yang sedang melihat hujan yang melinang di kaca jendela. Kupalingkan wajahku menghadapnya.

Aku mengangguk.

"Kita udahan aja ya?"

Aku masih diam. 38 menit yang lalu kami sudah berbicara perihal alasan. Banyak kata-kata rancu yang diutarakan hanya karena sebenarnya, ini terlalu sulit buat kami. Begitu?

Pertemuan yang jarang karena kami sama-sama sibuk, hingga terkadang memilih untuk sendiri di waktu seharusnya kami bisa bersama. Kemudian rasa rindu pun disalah artikan sebagai kecanggungan lantaran tidak tahu, tidak bertemu cara bagaimana mengobatinya. Seperti tertumpuk, terpendam oleh berkas-berkas dan tagihan-tagihan yang butuh segera dilunasi. Aneh sekali memang usia 27 tahun.

Napasku pendek dan dangkal, terburu-buru karena sedang menahan diri. Bibir dalamku sedikit perih karena kugigit. Tidak, tidak perlu melinang, cukup hujan saja.

Kedua kalinya aku mengangguk. Meski lebih pelan dan ragu-ragu. Jika itu yang sedang kami butuhkan. Mungkin? Apa benar itu yang sedang aku dan dia butuhkan?

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Tanyanya aneh. Seperti agenda bercinta yang dibatalkan sehingga perlu mengagendakan hal lain.

"Pulang, hapus make up, dan tidur."

"Jangan lupa makan."

Aku mengangguk dan pamit undur diri. Sendiri.

"Na!"

Panggilnya sekali lagi saat aku sudah berdiri.

"Jangan menangis malam ini."

Untuk yang satu itu aku tidak mengangguk. Bagaimana mungkin?

Aku pulang dan duduk di belakang pintu. Masih terdiam belum menangis. Kau tahu aku sedang berpikir aneh beberapa saat yang lalu. Saat saat aku merasa, aku terlalu mencintainya. Seperti segala perasaan dan emosi hanya berpusat pada dia bahkan sampai aku merengek pada Tuhan untuk sedikit saja mengurangi. Oh aku tidak bercerita hal itu padanya.

Kau tahu kenapa? Karena pada saat itu aku yakin aku bahkan belum sepenuhnya mencintai diriku sendiri. Aneh. Kata orang kau tidak bisa mencintai orang lain sebelum kau mencintai dirimu sendiri. Absurd. Itu absurd karena aku ada! Aku ada!

Hal hal lucu kadang memang terjadi pada diri sendiri, biar ada alasan untuk ditertawakan. Aku melepas sepatu hak tinggiku satu persatu. Lebih pegal ternyata berjongkok di atasnya. Kulepaskan juga tas dan jam tangan yang ada di lengan. Mendudukkan diri menekuk lutut. Sekarang aku merasa lebih rileks.

"Tuhan apakah ini caranya?" Aku bertanya dan yakin Tuhan di sana sedang tersenyum. Dibuka catatan saat aku sedang menangis-nangis merindukan manusia itu kemudian berharap aku tidak mencintainya sedalam ini. 

"Tuhan kok gini caranya?" Aku merengek lagi dan yakin di atas sana Tuhan sedang tertawa. Aku menangis. Aku menangis dan karenanya tidak bisa memenuhi permintaan Arsyaka tadi. Maaf. Aku toh tidak menyanggupi.

Hpku berdering, ada telepon. Kuusap basah di pipi dan mata agar bisa membaca lebih jelas. Namanya. Perlu kuangkat atau tidak? Tidak? Apakah aku berpura-pura sudah tertidur saja? Tapi terlalu sore. Apakah aku kirim pesan saja nanti? Tetapi juga terlalu obvious kalau aku sedang menangis. "Hey aku sedang menangis!" Kuteriakkan kalimat itu pada handphone yang berdering.

"Halo."

"Halo, Na. Udah nyampe rumah?"

"Udah." Aku berjanji tidak akan menjawab lebih dari satu kata agar suaraku yang sengau tidak kentara. Janjiku pada diri sendiri sebelum mengangkat telepon ini.

Dari JanuariWhere stories live. Discover now