Shared Bed

5.4K 621 15
                                    


Aku menggerakkan tubuhku hendak telentang setelah pegal tidur dalam posisi miring, tetapi punggungku menabrak sesuatu yang keras. Keras dan tepat di belakangku. Dengan berat, aku berusaha menggeser tubuhku hingga menyentuh penghalang pinggir agar aku bisa berbaring. Untuk melihat apa yang mengganjal tadi.

ARSYAKA?! astaga?! Kok dia ada di sini? Bisa-bisanya dia ikutan tidur di sini cuma gara-gara tadi aku tidur miring dan di belakangku masih ada tempat? Maksudku kasur ini sempit dan badan dia itu bulky, dia memakan hampir 2/3 padahal kan aku yang sakit?

Jadi benar, aku sedang berada di sebuah kamar inap di rumah sakit. Sejak 2 hari lalu aku sudah dirawat. Diagnosa yang diberikan adalah dokternya dbd, setelah aku sempat demam tinggi dan mual muntah di kontrakan. Hari ini, hari ketiga aku menginap di rumah sakit, panasku sudah berangsur turun dan kesadaranku semakin membaik. Setidaknya aku memang sudah tak meracau seperti saat pertama kali dibawa kemari.

Kembali lagi ke Arsyaka ya. Kira-kira, sejak kapan dia di sini? Aku membayangkan seperti dalam cerita atau penggambaran dalam sinetron, pasangan yang romantis itu biasanya akan menjaga orang sakit dengan tidur sambil duduk di kursi lalu tangannya memegang tanganku. Lalu ketika aku menggerakkan tanganku, ia akan bangun. But scratch that cliche agenda, Asryaka bahkan tidur di kasurku, kasur rumah sakit ini, berdesakan denganku dan tidur lebih lelap. There's no prince jumped out from that romantic story.

Aku membangunkan diri. Mataku melihat Aya sedang tidur selonjoran di sofa. Masih pukul dua pagi aku membaca waktu dari jam dinding di atas layar televisi. 

Aku memandangi Arsyaka yang terlelap dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya seakan memeluk dirinya sendiri. Matanya terpejam dengan kantung mata gelap membayang di bawahnya. Tulang pipinya rasanya lebih menonjol dari terakhir aku melihatnya, sebelum ia pergi melakukan tour. Bibirnya pucat dan terlihat kering. Mungkin sebenarnya jika dibandingkan aku lebih mengenaskan. Namun, aku kan jelas sedang sakit, sedang ia sehat tetapi terlihat amat lelah.

Aku ingin mengelus rambutnya yang seakan berdiri di atas kepalanya. Namun urung karena aku jadi takut membangunkannya. Begini saja rasanya menyenangkan. Meski tak lama ia bergerak sendiri, menghela napas lalu membuka mata.

"Hmm. Bangun?" tanyanya dalam suara berat. Aku tak tahu berapa lama ia bernyanyi selama konser beruntun itu.

"Haus," ujarku beralasan singkat. Aku memang sebenarnya merasa haus. Gelas minumku ada di meja dekat Arsyaka. Aku tak berani mengambilnya.

Arsyaka jadi ikutan duduk dan aku bisa merasakan sempitnya kasur ini dipakai berdua. Ini kan memang ukuran satu pasien. Kaki kami saling menyentuh.

Ia mengambilkanku gelas berisi air minum itu dan aku meminumnya hingga habis. Sekalian untuk membasuh mulutku yang asam. Seingatku, aku tadi sebelum tidur tidak sikat gigi. Apa orang sakit sempat melakukannya? Aku jadi enggan berbicara.

"Mau lagi?"

Aku menggeleng. Kepalaku berdengung. Harusnya kujawab dengan kata-kata saja.

"Apanya yang sakit? Masih panas?" Setelah meletakkan gelas itu di meja, ia mengecek diriku. Telapak tangannya menyentuh dahiku untuk mengira suhu. Tangannya terasa dingin.

"Tadi malem ke sini jam berapa?"

"Jam 11. Ini masih jam 2 lho, kamu nggak mau tidur lagi?" tanyanya khawatir. Aku bisa melihat khawatir itu dari matanya.

Jelas aku ingin berbaring. Jelas kepalaku masih berdenyut nyeri. Tetapi, aku ingin ngobrol dengannya. Setelah hari-hari tanpa kabar apalagi afeksi kasih sayang seperti ini.

"Abis dari bandara langsung ke sini?"

"Iya. Awalnya anak-anak juga mau nengokin tapi kan udah diatas jam bezuk jadi nggak bisa." Anak-anak yang dimaksud pasti temen-temen bandnya.

"Kok kamu bisa?"

"Ya kan ada kartu jaga buat 2 orang. Dibawain Aya turun biar aku bisa masuk."

Aku merasa hangat. Tentu saja. Apabila ada termometer yang mengukur hangatnya pipiku sekarang dibanding satu jam yang lalu, aku rasa suhunya sudah berbeda. Tapi bisa apa kita selain menikmati rasa-rasa cinta yang seperti ini?

"Trus koper kamu?" Aku tidak melihat koper di ruangan ini.

"Ya nitip ke Bhiyan dibawain ke apartment." Aku sedikit heran. Culas sekali ya leader satu ini. Aku membayangkan Bhiyan di apartemen mengangkat koper-kopernya sendiri plus milik orang ini yang aku tebak nggak cuma satu cuma gara-gara orangnya kabur abis tour nggak langsung pulang malah ke sini.

"Ck. Kasian dia. Kenapa kesini nggak besok pagi aja, sih?" 

"Udah kangen kamu." 

"Ish." Kutinju lengannya karena sudah bikin jantungku bekerja lebih keras. Bisa ya, dicintai segila ini rasanya?

"Kamu kangen juga kan sama aku?"

"Enggak."

"Masa? Katanya kemarin sampai nangis-nangis. Kamu nangisnya gimana? Ayaka-ayaka gitu bukannya?"

"Sok tau." Begini nih, kalau sudah keluar ngeledeknya bikin tengsin berkali-kali. "Udah ah aku masih ngantuk mau bobok."

"Yaudah..." Ia berkata pelan tetapi tak menunjukkan gerak-gerik hendak meninggalkan kasur ini.

"Geser. Sempit tahu nggak? Kasur ini kan aku yang bayar."

Dia hanya tertawa pelan. Dan bukannya pergi, malah merebahkan tubuhnya kembali di ranjang rumah sakit ini tetapi dengan posisi miring ke arahku. Menyisakan lebih banyak ruang untukku daripada tadi.

"Sini," ujarnya menepuk-tepuk bantal yang tersisa.

Aku jadi menelan ludah. Bentar deh sebenarnya Arsyaka santai banget ini mikir nggak sih? KALAU DIA NGADEP AKU GIMANA AKU BISA TIDUR HEI?!


"Kamu.. bisa nggak sih.... hadap sana aja?" pintaku sedikit terbata. 

Senyumnya terkembang lebar yang membuatku ingat rupanya yang menawan itu. Sial benar memang. Tetapi kepalaku sudah makin nyeri jadi kuputuskan berbaring. Meski rasanya ada yang semakin tak karuan. Jantungku nggak berdetak makin nggak beraturan menyundul-nyundul kerongkongan. Dari jarak ini pula, kucium lebih banyak aroma wangi dari kausnya. Bercampur dengan aroma yang keluar dari kelenjar kulitnya sendiri. Benar-benar membuat pusing.

"Hadap sana aku bilang! Aku bau!" Aku butuh rescue.

"Mau dipeluk nggak? Dari pada marah-marah terus."

***
1 Februari

***1 Februari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Dari JanuariWhere stories live. Discover now