There was time when it happened

2.7K 371 8
                                    


Kalau ada yang bertanya apa ada kisah sedih dari cerita kami, tentu saja aku akan menjawab ada. Karena pada dasarnya, tidak ada kisah yang sempurna termasuk milik kami.

Perjalanan backstreet alias pacaran tanpa ketahuan publik a.k.a fans The Vidays tidak sepenuhnya lancar. Selepas gosip tempo hari, ada lagi media entertaintment yang ingin mengetahui hubungan asmara Arsyaka. Merasa seperti tiada batas rahasia yang dipunya oleh public figure. 

Entah dari siapa mulanya, mereka bisa mencari kabar itu. Soal hubungan kami. Menyebarkan berita dengan jelas, Arsya mengencari seorang perempuan. Merilis foto saat kami bertemu diam-diam. 

Lantas, gosip yang menyebar itu berkembang lagi. Tak hanya wajahku, tetapi identitasku juga mulai dikulik. Puluhan artikel muncul di portal-portal infotainment. Banyak yang akhirnya memberi komentar atas statusku yang perempuan biasa. Ada yang menyangkut pautkan dengan model tempo hari, membandingkan malah.

Sedai awal, aku tahu ini risiko yang kupunya. Aku berusaha tak mengacuhkan gosip mengenai kami karena bagaimana pun, hubungan yang kujalani ini milik kami berdua, bukan mereka. Meski tak berbohong, kadang aku masih merasa sedih membaca ada banyak komentar yang jemari kerdil tinggalkan, tak pantas untuk dibaca. 

We can't rule the world, right?


Makanya untuk beberapa hari kami tak bertemu. Untuk beberapa hari pula aku pulang ke rumah. 

Membuatku berpikir soal mengapa. Apa yang salah dengan menjadi pasangan seseorang? Sebagian manusia tak penuh berpikir.

Arsyaka hanya bilang (lagi-lagi) untuk membereskan semuanya. Sedang aku di sini menimbang-nimbang kembali. 

Rasanya sesak memenuhi dadaku perlahan, akan tetapi muncul sakit ketika kutarik napas panjang. Beginikah rasa dilema?

Dari semua ini, aku melihat ayahku lebih banyak diam kepadaku. Ia tak bertanya sama sekali tentang Arsyaka atau alasan aku mengambil cuti mendadak untuk pulang. Selama ini beliau memang tidak menyoal hubungan kami. Tetapi tidak berarti pula, ia merestui. 

Mama mungkin sudah senang hati menerima hubunganku dengan Arsyaka. Lebih-lebih beliau mendukung dan sering juga bertanya kabar atau meminta Arsyaka untuk mampir kala sedang berkonser ke sini. Tetapi, papaku berbeda. 

"Kalau sesuatu itu tidak baik untukmu, lepaskan."

Di sebuah sore kami duduk di teras belakang. Mencari hawa segar dari cuaca Surabaya sebelum hujan seperti percuma. Tapi kami duduk berdua di sana, lantas ia mengucapkan kalimat itu.

"Papa pikir Arsyaka demikian?"

"Papa pikir laki-laki yang bertanggungjawab tidak akan membuatmu sedih berhari-hari seperti ini."

Papa salah mengenai hal itu. Aku sedih bukan sebab Arsyaka, tetapi hal lain. Pun apabila iya, kurasa senang dan sedih sudah jadi satu paket dalam sebuah hubungan. Kita tidak bisa menghindari kesedihan selamanya, dan menginginkan hanya hal baik terjadi. Karena hal itu tidak ada di dunia ini.

"Tapi aku sayang sama Arsyaka, Pa. Sayang banget," ujarku masih memandangi rerumputan diam. "Barangkali sama seperti papa menyayangi mama, sama seperti papa menyayangiku." Tidak ada yang tahu bagaimana mengukur perasaan, besar kecilnya tidak bisa dibandingkan karena hal tersebut sejatinya personal. Tapi aku mengatakan ini sebab aku mengerti alasannya. "Karena aku ngrasa nggak sanggup, Pa, kalau rasa sayang itu hilang."

Tak ada lagi yang bicara. Langit semakin abu-abu di atas kami. Sebentar lagi hujan dan kami merasa perlu meninggalkan teras. Papaku yang beranjak lebih dulu. Sedang kakiku masih berat, seberat perasaanku yang tak menentu ini. Hingga mama mengatakan sesuatu.

Dari JanuariWhere stories live. Discover now