Longing

8.7K 716 18
                                    

Rumah kontrakan, pukul 1 dini hari, aku masih terjaga.

Dari mulai suara hujan masih mengisi hingga mereda dan digantikan sautan kodok ngorek (sampai sekarang aku tak mengerti kenapa suara teot-teot itu dibahasakan sebagai ngorek oleh orang jawa, like... apanya yang ngorek?) aku masih menatap langit-langit kamarku.

Aku lelah, tentu saja. Bisa apa tubuh seorang pekerja gaji seiprit di atas UMR di tengah kota yang bak mengajak berlari terus-terusan ini. Kalau lelet kau akan dipentung kiri kanan atas bawah. Oleh atasan, oleh kawanan atau istilah kerennya peer pressure, juga oleh junior-junior ambis yang siap melangkahi mayatmu kapan saja.

Bercanda. Aku tak pernah peduli soal orang lain yang berusaha mendahuluiku. Karena cita-citaku dari dulu sederhana, ingin jadi mediokre. Orang biasa saja. Kerja, punya duit untuk sekedar makan hanamasa sebulan sekali, punya pacar untuk mencintai, lalu timeline setelahnya sama dengan orang-orang biasa. Menikah, punya anak, dan menjadi tua.

Tapi, kayaknya cita-cita itu jadi agak berubah sebab ada yang membuat hidupku mirip ftv dan cerita disney: aku naik kelas sosial karena pacarku anak band.

Ini bukan hal yang rumit, seharusnya.

Aku menerimanya untuk membina hubungan kasih sayang saat band itu belum sebesar sekarang. Kini, grup musik beranggotakan lima orang itu malah sudah diundang ke luar negeri untuk konser.

Baiklah, aku memang bangga. Bangga luar biasa. Tetapi, mana waktu kami buat sayang-sayangan? Ia sekarang bak bulan dan ada aku si punguk yang kesepian.

Kubuka lagi layar yang menampilkan ruang obrolanku dengannya. Serentetan kata yang ditulis setengah mabuk (bukan karena alkohol tetapi karena rindu) yang kukirimkan masih menunjukkan tanda belum dibaca.

Aku tahu ia sibuk. Siiiiiiiibuk sekali. Yang membuatku membutuhkan kehadiran doraemon lebih lagi karena ingin minta pintu kemana saja. Ah, kenapa robot kucing itu tidak benar-benar ada sih?

Aku meracau lagi. Dan semakin lama aku memandangi langit-langit kamar yang mulai disarangi laba-laba di pojokannya ini, racauanku makin dalam.

Salah satunya memikirkan, bagaimana jarak tak hanya memperdalam rindu tapi juga inferiority.

Hei, tidak salah merasa demikian.

Dulu aku menemuinya, laki-laki itu kuperkenalkan, Satria Arsyaka Yanuar, sebagai vokalis sekaligus pemukul cajon band akustik yang manggung dari kafe ke kafe, nge-gigs dari latar ke latar. Siapa sangka kalau ia bisa tampil di depan ribuan orang yang rela membayarkan separuh gaji mereka untuk masuk.

Apalah aku yang hanya perempuan biasa, pekerja korporat yang tak secantik model tivi. Ironisnya dari ini semua adalah ia orang yang membuatku merasa kecil sekaligus membuatku merasa besar.

Ada hari-hari (banyak hari) yang membuatku berpikir he deserves better. Dengan popularitasnya sekarang, aku yakin banyak perempuan dengan kualitas lebih tinggi dariku yang mengantre di depannya. Ibarat kata, ribuan ikan sudah berjajar tinggal tunjuk saja.

Namun ada pula hari di mana ia meyakinkan bahwa aku cukup untuknya. Sebagaimana aku berusaha untuk mencintainya tak kurang setiap hari.

"Tau nggak, Na. Kalau manusia tuh sebenernya nggak layak buat merasa kurang?" Aku terngiang kata-katanya suatu hari.

"Buat bikin manusia aja dibutuhin milyaran sel, trus sel-sel saraf yang saling terorganisir jadi satu sistem. Manusia aja mau menirukan ciptaan lewat pembuatan robot masih nggak bisa sesempurna serupa manusia. Lihat deh, jari kamu ada sepuluh, mata kamu ada dua cantik-cantik dan bisa ngeliat, walau masih cantikan punyaku sih tapi aww!" Tanganku yang awalnya digenggamnya melepaskan diri untuk menjatuhkan tinju ringan di rusuknya. "Ih dengerin dulu! Nih, physically manusia tuh udah bagus banget. Belum emotionally sama spiritually. Reflek kita, simpati kita. Kita jadi punya perasaan untuk merasa seneng, sedih, ketawa, jatuh cinta. Keren nggak, sih?"

Ia menjeda sejenak. "And you're the one who makes me do so," ujarnya sambil menatap dengan kedua manik matanya yang indah itu.

Aduh, tolong matikan bara api ini aku sudah melting seperti lilin cair.

"Halo?" Kusapa si penelpon subuh-subuh sambil masih mengeriyip.

"Akhirnya... udah bangun?"

Aku terkikik kecil. "Udahh hmm." Aku berdehem melegakan tenggorokan karena suaraku masih serak. Aku bahkan belum ngecek jam berapa ini karena mataku masih berupaya menangkap cahaya. "Jam berapa..... oh jam 5." Aku menjauhkan sebentar layar handphone demi melihat angka. Ada beberapa panggilan tidak terjawab darinya sebelum ini.

"Baru banget bangun ya?"

"Iya, nggak denger alarm malah bangunnya dari dering telepon kamu," jawabku di sela-sela menguap mengumpulkan kesadaran.

"Kamu pasang ringtone aneh-aneh ya buat nomorku?"

"Enggak ya, pede," cibirku.

Padahal iya. Ada lagu unreleased yang terpasang sebagai ringtone khusus karena lagu itu mengingatkanku pada pertemuan awal kami. Mengingatkanku ketika rasa cukup jadi variabel prediktor besar tanpa banyak direcok variabel lain (kelas sosial, gosip, dan masa depan)

"Gimana konsernya hari ini?"

"Syukurlah lancar. Ini baru balik ke hotel, barusan mandi, tadi aku juga udah makan bareng-bareng staff."

Aku bangun untuk duduk, menyandarkan punggungku, dan mendengarkan seksama cerita-ceritanya. Bertukar kabar, aku pun bercerita tentang kegiatan harianku.

Pada akhirnya, aku membiarkan kisah ini mengalir dengan sendirinya. Seperti menyusun saja kisah kami hingga hari ini, menepikan kekhawatiran-kekhawatiran soal masa depan dari jalan yang kami lalui. Untuk lebih menikmati rasa rindu dan rasa tersipu yang diam-diam menyeruak hangat di dadaku yang berdebar tiap kali mendengar suaranya dekat.

Kalau begini, memangnya siapa yang nggak mau jatuh cinta?






Dari JanuariΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα