Chapter 2.10.5

Mulai dari awal
                                    

Eleonor baru saja hendak menepi. Suara ponselnya kebetulan sengaja ia buat nyaring kali ini, persis berdering kala ia menginjak lima langkah dari kerumunan. Tidak ada salahnya. Itu merupakan cara terbaik untuk melarikan diri dari wawancara yang penuh sesak.

Mendapati teks yang menampilkan pemilik nomor 'Ayah' dalam alfabet Rusia. Sungguh bukan perihal biasa, sang ayah menelpon di saat ia bekerja. Tanpa ragu Eleonor mengangkat telepon tersebut, semakin memilih untuk menjorok ke sudut yang lebih lenggang.

Tak begitu banyak yang Eleonor ingat setelahnya. Namun, hal yang pasti ia ingat adalah patahan kata sang ayah yang berujar seperti, "Ayah hanya terjatuh, tak masalah ... jangan khawatirkan Ayah. Ayah akan melihat beritamu dari Chelyabinsk."

Tapi mendengar suaranya yang seolah tak berdaya, siapa yang tega membiarkan pria paruh baya itu sendirian di rumah sakit? Memikirkan bagaimana ia sendiri tanpa siapa saja yang menemani-selain suster dan dokter-saja sudah membuat Eleonor senewen.

Nina, salah seorang koleganya yang masih muda itu menangkap kekhawatiran yang terpatri jelas di air mukanya. Ragu-ragu ia menghampiri Eleonor, tampak segan jika saja kehadirannya mengganggu.

"Aku tidak apa-apa." Eleonor bergumam tanpa diminta sekali pun menjawab pertanyaan Nina yang masih dikurung dalam hati. Maka ia menoleh kepada Nina sembari tersenyum. "Ayo kembali. Bisa-bisa mereka mencari kita."

Mereka kembali dan Nina percaya saja dengan sandiwara di dalam sudut bibir yang tertarik itu.

Namun, malamnya ia tetap tak tenang. Nina pasti menceritakan perihal ini kepada Aoi. Oleh karenanya, si profesor muda mendatanginya kala ia sedang di dalam kantor pribadi.

Singkatnya mereka berbicara. Ya, mereka benar-benar berbicara. Berakhir Eleonor tertolong Aoi yang mau membantu menuliskan surat izin sementara, agar Eleonor bisa melarikan diri menuju Chelyabinsk.

"Pergilah, Profesor. Beliau pasti benar-benar merindukan Anda. Saya pikir ini merupakan waktu yang tepat untuk kembali ke kampung halaman."

Tentu saja Eleonor setuju. Bahkan kolega mudanya membantu untuk mengemasi segala hal yang ia butuhkan.

Waktu berputar cepat. Ah, tidak. Tepatnya pikiran Eleonor mulai melompat kepada dirinya yang telah sampai di bandara, mengingat hal-hal lain tidak terlalu penting.

Dia benar-benar tak ingin membuang waktu. Sambil menyeret kopernya-tanpa sedikit pun memedulikan derik yang sesekali tercipta dari roda yang menjerit minta diperbaiki-Eleonor melintas ke bandara yang lenggang di kala itu.

Ingatan terakhir berhenti di kala seseorang memanggil namanya. Lagi-lagi Eleonor memaksakan diri melompat ke ingatan lain.

Namun, semuanya tampak buram.

Terpaksa ia mengesampingkan bagaimana rupa orang yang mengenalinya. Semaksimal mungkin otaknya bekerja untuk itu, tetapi semuanya sia-sia saja dan hanya akan membuat ia kelelahan karena berpikir.

"Jadi dia juga mengizinkanmu mendengarkan rekaman palsunya?"

Lantas suara Kenji membuyarkan segala kepingan ingatan yang baru terkumpul di dalam kepala si profesor. Sekilas ia mengingat seorang wanita mengangkat sebuah perekam suara. Cukup aneh memang, ada orang yang masih memiliki barang lama seperti itu di masa sekarang. Namun, Eleonor memilih untuk mengindahkannya.

Eleonor yakin, orang yang disebut dia oleh Kenji merupakan orang yang mengajaknya berbincang di kafe bandara. Seolah tertanam di dalam kepalanya, Eleonor persis mendengar suara yang keluar dari perekam suara tersebut.

"Ayah hanya terjatuh, tak masalah ... jangan khawatirkan Ayah. Ayah akan melihat beritamu dari Chelyabinsk."

Lantas senyum sekali lagi terpatri di wajah Kenji kala mendapati profesor tersebut mendelik nanar kepadanya. Betapa ia menikmati berbagai perasaan yang tersirat dari manik kebiruan Eleonor. Namun, utuh semua yang sempat tercermin di iris tersebut menghilang seusai empunya berpuas diri memejamkan mata erat-erat.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang