~Berbeda~

192 24 7
                                    

Pagi kembali menjelma, membiarkan sang surya menelisik malu-malu dibalik gumpalan kapas putih.

Begitu juga dengan Dewi, gadis itu kini terlihat sibuk menaruh sup rumput laut yang di masaknya dan meletakkannya di atas meja makan kecil nan rendah di depannya.

Ia mulai merapihkan piring dan sendok, ibunya akan bersiap-siap untuk pergi mencari ikan bersama yang lainnya. Sarapannya pun sudah hampir siap.

Tapi tiba-tiba semerbak atmosfir hangat menerpa punggunya yang dibalut kaus berwarna coklat pudar berlengan panjang. Spontan Dewi membalikan tubuhnya ke belakang. Betapa terkejutnya ia saat sosok pemuda yang tadi pagi dilihatnya masih tak sadarkan diri kini berdiri tepat dibelakangnya.

Pemuda itu menatap Dewi intens seakan mengintrogasinya. Dewi hanya membalas tatapan datar pria itu dengan sedikit rona malu. Bagaimana tidak, pemuda berparas seperti orang luar itu sangat tampan, di tambah baju yang ia pakai saat ini.

Kemeja kotak-kotak berwarna biru terang dengan celana bahan yang kerisut, itupun milik almarhum ayahnya. Dewi ingin tertawa cekikikan melihatnya. Kurang cocok menurutnya jika di lihat sekarang.

Pemuda itu masih dalam mode patung tanpa sedikit pun mengalihkan padanya dari Dewi. Gadis itu pun sedikit gelagapan dibuatnya.

"Kamu sudah siuman?" tanya Dewi setelah setenang mungkin menatap paras dengan pahatan sempurna itu.

Tapi pemuda itu tetap diam tak sedikit pun menanggapi pertanyaan Dewi barusan. Malah sekarang pemuda itu mulai mendekat ke arahnya. Mengikis jarak yang hampir beberapa senti lagi.

Atmosfer hangat menyelubungi tubuh Dewi. Terasa nyaman dan menenangkan.
Bibir pemuda itu masih bungkam tanpa satu kata pun ia ucapkan, hanya hembusan nafasnya yang hangat bisa Dewi rasakan.

"Apa dia tidak bisa bicara ya. Kenapa diam saja?" bisiknya sambil mengarahkan pandangannya ke arah lain.

 "Mungkin dia haus. Ya air!" Dengan cekatan, Dewi menuangkan air ke dalam gelas dan menyodorkannya ke arah pemuda yang masih mematung sedari tadi di depannya itu. "Minum dulu. Kamu pasti haus." ucapnya.

Tanpa di duga, pemuda itu langsung menyambar gelas dan cepat meneguknya hingga habis tak tersisa. Membuat Dewi sedikit kaget, apalagi ia dapat melihat air itu meluncur bergerak melewati tenggorokan pemuda itu yang bergerak-gerak cepat. Setelah itu ia menjatuhkan gelasnya seperti orang yang baru saja kehausan setelah satu minggu tidak minum saja.

Pemuda itu kembali menatap Dewi, kini dengan sorot berbeda, sayu dan lembut. Seakan ingin mngucapkan terima kasih lewat tatapannya.

  "Ohhh astaga! Dia udah bangun Dew,"

Suara Rumanah sontak membuat keduanya terkejut. Wanita setengah abad itu mulai beringsut mendekati keduanya.

"Sudah siuman ya, syukurlah." ucap Rumanah sambil mengusap dadanya lega. Dan malah mendapat tatapan datar dari pemuda itu.

Rumanah menengok ke arah Dewi, putrinya. "Dia gak ngomong? Kenapa? Bisu?" tanya Rumanah pelan, malah terkesan berbisik-bisik.

"Dewi juga gak tau. Dari tadi dia diam saja. Mungkin dia lupa siapa dirinya dan tidak bisa bicara?" terka Dewi membuat ibunya menghela nafas berempati.

"Aduh. Kamu kasian sekali." ucapnya sambil mengelus pundak pemuda itu lembut. "Kamu pasti hilang ingatan toh. Ya, gak papa. Kamu sekarang sudah sadar juga saya sudah bersyukur." ucap Rumanah kini mengelus rambut coklat bergelombang pemuda itu.

"Kita kasih dia nama saja." celetuk Dewi dan langsung di setujui ibunya.

"Rio!" usul ibunya tiba-tiba dan langsung mendapat protes dari Dewi. "Nama itu udah ada di tetanggan kita yang merantau Bu!"

"O ya. kalo Gusdur?"

"Loh. Gak cocok kalo itu mah kan nama Presiden kita, yang lain ... apa ya?"

"Nawang!"

"Itu mah udah ada di cerita sebelah. Ibu mau kita dikroyok orang-orang udah ambil hak cipta."

"Aduh apa ya. Dia kan cakep gini mau di kasih nama apa?"

"Gian." usul Dewi sedikit melirik pemuda bisu itu yang sibuk menatap keduanya berdebat.

"O, bagus itu. Iya ... sekarang namamu Gian. G-I-A-N." eja Rumanah sambil menuliskan jari telunjuknya di udara. Tepat di depan pemuda yang sekarang bernama Gian itu.

"Ya sudah kita makan aja sekarang. Gian juga pasti lapar." usul ibunya lagi, sambil menarik pemuda kaku itu untuk duduk.

Mereka pun sibuk menaruh lauk pauk ke atas piring dan memakannya. Terkecuali Gian yang hanya melongo menatap Dewi dan Rumanah makan. Sesekali ia menelan salivanya tanda lapar.

"Dia gak tahu caranya makan?" tanya Rumanah syok. Dan Dewi hanya mengangkat bahu.

"Emang kalo orang hilang ingatan bisa separah ini ya. Kok ibu takut ya," cetus Rumanah menghentikan sesi makannya.

"Gak papa. Mungkin tangannya sakit. Biar Dewi yang suapin Gian."

Dewi menaruh beberapa lauk pauk di piring baru. Menyendokannya serta mengarahkannya ke mulut Gian. Tanpa diduga, pemuda itu menyambarnya cepat hingga sendok yang di pegang Dewi jatuh.

"Wah. Gian bener-nener lapar." celetuk Rumanah terkejut, ia kembali melanjutkan makannya. Sementara Dewi sibuk menyuapi Gian.

Ketiganya mulai larut dalam suasana makan yang agak canggung, karena kehadiran orang baru.

"Kamu jaga Gian ya Dew, ibu pergi dulu. Atau bisa kamu bawa dia cari rumput laut kalo Giannya mau. Ibu pergi dulu." setelah mengucapkan selamat tinggal. Dewi hanya menatap Gian dengan penuh tanda tanya besar. Piring di meja sudah di bereskan.

"Saya mau cari rumput laut lagi. Kamu mau ikut? Nanti aku ceritakan asal usul kamu bisa ada disini." ucap Dewi sambil siap beranjak namun tiba-tiba lengannya dicekal Gian dengan cepat, kepalanya Gian mengangguk-ngangguk pelan.

Sontak Dewi terkejut bercampur senang. Ternyata Gian mengerti juga apa yang di katakannya, syukurlah.

Ia pun mengambil keranjang miliknya dan melangkah keluar. Di susul Gian yang masih tak melepaskan cengkraman tangannya.

         

                             

🌊🌊🌊        

The Fairy Of Ocean  [END]✔Where stories live. Discover now