1.Who?

323 94 52
                                    

"Dia yang pernah pergi, dan kini kembali untuk oranglain."
***

"Ruang cempaka nomor 14." Laki-laki itu mengangguk.

Setelah mengucapkan terimakasih, ia segera berlalu dari hadapan resepsionis. Langkah tegapnya menyiratkan ketegasan. Tubuhnya yang menjulang tinggi, hidungnya yang mancung, dan rambut tebalnya yang berwarna coklat terang, menjadi ciri khas tersendiri baginya.

Langkah kakinya terhenti di depan pintu sebuah ruangan. Ia turunkan masker yang sedari tadi menutupi mulut dan sebagian hidungnya. Kini, masker bertengger di bawah dagunya. Tak lupa ia juga menyibakkan topi dari jaket hoodie hitamnya hingga menampakkan seluruh bagian rambut coklatnya.
Jika ini sebuah film, maka kamera akan merekamnya dari samping dengan tempo slow motion, hingga hanya wajah bagian samping lelaki itulah yang terlihat.

Laki-laki itu beralih ke jendela yang memperlihatkan seorang gadis tengah berbaring dengan mata terpejam di dalamnya. Tatapan lelaki itu masih datar. Gadis itu hanya sendiri, tidak ada yang menemaninya di dalam ruangan.

Pandangan lelaki itu beralih pada knop pintu. Menurunkan egonya, lelaki itu memutar knop dan masuk secara perlahan.

Ia duduk di samping brankar, ditatapinya lamat-lamat gadis yang ada di hadapannya. Belum ada perubahan, gadis itu belum bangun. Tak lama tangannya terjulur untuk mengusapi puncak kepala si gadis. Laki-laki itu memejamkan matanya.

"Kamu harus bangun, buat aku."

🍂🍂🍂

"Sil... gue udah kenyang."

Silva memutar kedua bola matanya. Dihentakkannya semangkuk bubur ke atas meja di samping brankar.

"Lo, tuh, dibilangin ngeyel banget sih, ra. 2 sendok dibilang kenyang. Makan tuh kenyang!" Silva mencibir.

"Ck, emang kenyang." Yara membalasnya sembari berdecak.

Kemarin sewaktu pingsan, Yara dibawa ke UKS. Namun karena maag akut Yara kambuh, jadilah ia dibawa ke Rumah sakit. Disinilah ia, berperang dengan bebau obat-obatan, hal yang paling dibencinya. Dan Silva adalah satu-satunya orang yang menungguinya dari semalam. Ia bahkan masih mengenakan seragam SMA nya. Ia sudah meminta agar Silva pulang saja karena tidak enak dengan keluarga Silva, namun Silva menolak. Yara pun tak bisa berbuat lebih. Lagipula ia akan sendiri jika Silva pulang. Arhan bilang akan mengunjunginya jam 2 siang, dan ini masih jam 10 pagi.

"Sil?"

"Hm?"

"Lo yakin dia bakal balik... lagi?"
Yara sebenarnya ragu untuk bertanya. Dilihatnya pergerakan Silva yang tengah memotong apel terhenti.

Silva menoleh,
"Gak usah dibahas dulu,deh.Gue gak mau,ya,ntar lo tiba-tiba pingsan lagi kaya kemaren."
Silva menjawabnya dengan nada menyindir.

Yara tercengang. Hei! ia pingsan bukan karena membahas si dia! Jika iya, pasti akan terdengar sangat berlebihan.

"Sembarangan lo! Gue pingsan karena maag gue kambuh, ya!"

Silva hanya mengangkat kedua bahunya acuh.

"Tapi kalo lo kurang yakin, gue tekankan sekali lagi, 'DIA BALIK'," Silva sengaja menekankan dua kata diakhir kalimatnya, "Tali kalo kapannya sih dia sendiri gak tau. Dia cuma bilang ke gue, kalo nggak besok, ya, hari ini."
Silva menjelaskan secara rinci tanpa terdengar nada ragu sedikitpun.

Yara terdiam, matanya mengikuti pergerakan Silva yang kembali memotong apel.

"Kalian... sedekat itu?"

Untuk kedua kalinya, pergerakan Sva terhenti. Dapat dilihatnya tubuh Silva membeku. Ia rasa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya.

"Sil?" Yara menyentuh tangan Silva

"Eh? uhm? itu, tadi lo nanya apa?gue... gue deket sama dia? deket?ah, kayanya enggak, deh. Haha"

Mata Yara memicing. Ekspresi dan jawaban dari Silva meleset jauh dari ekspetasinya. Ia kira Silva akan tertawa keras menertawakan dirinya yang terlalu waspada untuk kehilangan. Namun nyatanya? Tidak.

"Eh, ya ampun!" Silva menepuk jidatnya.

Detik selanjutnya Silva sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ranselnya.

"Gue pulang duluan, ya, ra.Sorry gak bisa nemenin lo sampe Arhan dateng. Gue lupa ada janji sama Yesa jam 12. Gue pulang ya. Daaaah..."

"SIL--" Ucapan Yara tertelan kala Silva telah hilang dari ambang pintu.

"Ini masih jam 10." lanjutnya dalam hati.

🍂🍂🍂

Silva Ardhinata: Dia curiga

Silva buru-buru memasukkan ponselnya kedalam tas. Karena tak melihat jalan, tubuhnya tak sengaja menabrak sesuatu yang bidang dan keras. Silva terjatuh ke lantai Ia meringis. Tak terlalu parah memang, namun tubuh bagian belakangnya terbentur cukup keras pada lantai. Ia bangun dengan tertatih. Matanya langsung terfokus pada lelaki di depannya.

Tampilan yang cukup aneh untuk ukuran style ke rumah sakit. Masker, kacamata hitam, dan hoodie berwarna hitam serta topinya yang menutupi rambut sampai setengah dahinya.
Silva mengernyit.

"Silva"

Silva tersentak. Bagaimana ada orang asing yang mengetahui namanya?Hei, ia bukan artis! bukan juga selebritis!Namun Silva terkesiap akan suaranya. Suara datar nan dingin.

Di detik selanjutnya, lelaki itu melepas semua atribut yang menutupi wajahnya. Ia menatap datar ke arah Silva.

Silva tersentak, matanya membelalak.

"DICKY??!"

Dicky tersenyum miring,
"Seberapa banyak dia cerita tentang gue ke lo?"

Silva membeku, kali ini benar-benar beku. Lidahnya juga ikut kelu.

🍂🍂🍂

Makasih udah baca ceritaku😙

Part pertama akhirnya selesai😌
Aku harap kalian suka:)

Sayara Aldiana (HIATUS)Where stories live. Discover now