28 | Jakarta

6.1K 539 102
                                    

Note : Selalu pastikan baca buku ini pas lagi sepi ya, guys! 😂

***


Ini adalah kali pertama Yeri menginjakkan kaki di Ibu Kota. Keluarganya bukan tipe yang suka jalan-jalan ketika liburan tiba. Biasanya, abi hanya akan mengajaknya untuk mendekorasi ulang rumah dan menata ulang letak furniture. Sama halnya ketika lebaran tiba. Umi yang asli orang Bandung dan abi yang dari Lamongan, tak membuat keluarganya mudik kemana pun. Selain itu, kakek dan nenek dari pihak keluarganya sudah tiada. Jadi mereka mengikuti prinsip abi. Rumahku adalah syurgaku.

Yeri tersenyum tipis mengingat sepotong kenangannya dulu. Belum ada sehari meninggalkan Bandung, ia sudah rindu akan suasana Kota Kembang itu.

Rumah keluarga Athalla sangat berbeda jauh dengan rumah orang tuanya. Rumah ini besar, bertingkat dan mewah. Tampak seperti rumah-rumah yang biasa Yeri lihat di sinetron dengan tokoh orang kaya. Baru melihat pagarnya saja, Yeri sudah merasa kecil sendiri.

Mendadak ia teringat, kala beberapa tamu undangan yang menyalaminya kemarin berkata bahwa keluarga Yeri beruntung bisa berbesan dengan keluarga kaya. Padahal keluarganya cenderung sederhana dan tak begitu terkenal macam keluarga Athalla. Abinya hanya seorang ketua KUA dan uminya yang berjualan kue kering. Tak ada yang spesial dari keluaganya. Dan kata-kata mereka mulai mengusik pikiran Yeri.

Ia hanya takut mereka salah paham.

"Mikirin apa?"

Yeri tersentak akan suara laki-laki di belakang tubuhnya dan menoleh takut-takut. Ia masih belum terbiasa berduaan di dalam ruangan bersama laki-laki lain. Meski kenyataannya Mark adalah suaminya.

Pria itu duduk di sisi ranjang di sebrang Yeri. Tengah menggosok rambutnya yang basah dan menatap sang istri dengan pandangan penuh tanya.

Yeri menggigit bibir bawahnya pelan. Ragu antara harus mengatakan ini pada Mark atau tidak. Namun pada akhirnya ia menekadkan diri untuk mengatakannya. Teringat akan amanat umi untuk selalu curhat pada suami jika itu soal rumah tangga mereka.

"Pasti banyak tetangga yang salah paham, Mark," katanya sedikit ragu untuk menyebut nama suaminya.

"Karena kamu nikah sama aku?" terka Mark tepat sasaran.

Yeri mengangguk singkat dan menunduk dalam. Enggan menatap sang suami. "Aku takut umi sama abi sakit hati sama omongan mereka."

Mark beringsut naik ke atas ranjang. Mendekati istrinya itu dan menggenggam tangannya lembut. Berusaha menenangkan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu.

"Gak apa-apa, aku yakin abi sama umi gak bakal dengerin omongan mereka. Allah juga udah ngasih peringatan di Al-Qur'an soal larangan menggunjing sesamanya, kan? Gak masalah, hitung-hitung jadi pahala buat kita." Mark menenangkan selembut mungkin.

Yeri menghela napasnya singkat dan mengangkat wajahnya. Terkejut akan jarak wajah keduanya yang terbilang dekat. Dan tak ada yang berubah dari kebiasaan Yeri untuk mengucap istighfar hanya dengan bertatapan dengan Mark. Padahal, mereka sudah melakukan hal yang lebih dari saling bertatapan.

"Kamu lupa ya kalau kita udah suami-istri?" kekeh Mark mendengar lafadz istighfar keluar dari mulut Yeri dengan lirih.

"Maaf, aku belum terbiasa, Mark."

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang