25 | Akad

4.9K 506 230
                                    

***

Yeri menatap pantulan dirinya sebelum melaksanakan sholat subuh. Gaun pengantinnya masih terpajang di pintu kamar sementara ia masih memakai gamis hitam polos berbahan jersey. Masih ada beberapa waktu lagi sebelum mobil jemputan datang untuk melaksanakan akad di masjid agung. Tapi, ia sudah segugup ini.

Genggamannya pada mukena dalam pelukannya mengerat. Di edarkannya pandangan pada seisi kamarnya ini, dan ia menarik napas dalam. Sudah tak ada apapun di sini. Kamar ini sudah siap di tinggal oleh penghuninya.

Helaan napasnya memberat. Sudah tak ada lagi keraguan dalan dirinya untuk menikah. Ia sudah membulatkan tekadnya dalam hal ini meski banyak sekali hal yang mengganggu pikirannya.

Sebagai anak perempuan dalam keluarganya, terus terang ia selalu berpikir untuk mundur. Tak akan menikah dan tidak akan hidup bersama orang yang telah mengikatnya dalam sebuah hubungan ibadah. Sejujurnya Yeri masih merasa diri ini belumlah baik. Belumlah pantas menjadi seorang istri yang mengemban begitu banyak tanggung jawab demi membangun rumah tangga yang Allah ridhoi.

Dia masihlah anak manja yang apa-apa selalu ingin di dekat umi, kemana-mana ikut dengan umi, dan masih banyak hal yang belum bisa ia pahami untuk menyandang status istri. Belum lagi dirinya yang apa-apa minta tolong pada sang adik dan terkadang minta di antarkan abi jika ada urusan penting saat Haikal tak di rumah. Intinya, dia belum bisa menjadi apa-apa untuk keluarganya.

Terlebih orang yang akan menjadi suaminya, keluarga barunya, masihlah orang asing. Mereka mungkin tidaklah sedekat ia dan Lukman mengingat begitu banyaknya hal yang dapat menjerumuskan ketika laki-laki dan perempuan bertemu dalam agama. Ia sendiri masih sedikit takut untuk hidup bersama.

Bukannya ia meragukan Mark, laki-laki itu baik seperti apa yang abi lihat. Namun itu semua tak menjamin akan seperti apa kehidupan pernikahannya nanti.

Lagi-lagi keraguan menyelimuti diri. Mendadak Yeri takut untuk menikah, ingin mundur namun ia sudah di ujung tanduk.

Meski diri ini mengatakan cinta dan yakin akan balasan Mark untuk berjanji setia, namun soal pernikahan, bukan tentang siapa yang cintanya paling besar dan paling lama. Karena tak selamanya cinta membangun sebuah ikatan.

Bagi perempuan, menikah adalah hubungan tingkat tinggi yang bukan hanya mengandalkan emosi dan pikiran. Menikah jelas berbeda dengan pacaran atau persahabatan. Menikah adalah hubungan dewasa laki-laki dan perempuan menjalani hidup bersama dalam satu atap, satu jiwa, dan satu hati. Berani menikah, berarti berani mengambil resiko untuk tak salah langkah. Karena menikah, bukan hanya soal ego satu atau dua orang, tapi dua keluarga.

"Teteh, ayo berjamaah!" suara Haikal menyentak lamunan Yeri. Gadis itu tersenyum tipis menatap sang adik dan mengangguk pelan.

Benar, dari awal ia menerima lamaran ini, dirinya memang sudah terjebak dan tak akan bisa lari. Ia sudah setuju, itu berarti ia berani mengambil segala resiko yang ada. Apapun itu, jika bersama Mark akan Yeri hadapi. Sekarang, tak usah risau dengan segala kemungkinan yang masih menjadi prediksi. Nikmati saja dulu apa yang ada di hadapan dan abaikan yang masih menjadi abu-abu.


***





Waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB. Area Masjid Agung Al-ukhuwah tampak ramai dipadati jemaah bahkan hingga ke lantai dua masjid untuk melaksanakan sholat subuh yang diimami langsung oleh Mark.

Sebelum salat Subuh di mulai, Mark mengajak para jemaah untuk sujud Tilawah. Ia menyampaikan panduannya dan akan membaca ayat-ayat Sajadah.

"Mari kita salat seolah-olah ini salat kita yang terakhir," katanya kepada jemaah melalui alat pengeras suara.

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang