1 | Assalamu'alaikum

10.7K 652 118
                                    


Ngantuk.

Begitu keluh Haikal selama menuju masjid. Ia bahkan terus menguap dan sesekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Jika sang kakak tidak membangunkannya dengan cara brutal, mungkin ia akan sholat di rumah kemudian tidur lagi.

Hanya saja, ia ingat kata Abinya, melangkahkan kaki ke masjid itu berat rasanya. Kasur di kamarnya lebih menarik ketimbang sajadah masjid. Selimut tebal bermotif Manchester United, lebih hangat ketimbang baju koko dan sarung songkoknya. Begitulah tipu daya dunia yang indah namun berakibat fatal. Sekalipun berat, remaja tujuh belas tahun itu tetap memaksakan diri pergi ke masjid. 'Nanti juga kalo udah wudhu seger lagi,' begitu pikirnya.

Baru saja Haikal melepas sebelah sandalnya, seseorang dengan seenak jidat menginjak swallow hijau favoritnya. Awalnya ingin memaki, namun begitu melihat si tersangka penginjak sandal, Ikal memasang wajah datarnya.

"Biar setannya ilang," ucap remaja yang seumuran dengannya itu. Matanya ikut tersenyum begitu ia tersenyum. Jika perempuan yang di senyumi seperti itu mungkin akan mimisan di tempat. Tapi tidak dengan Ikal. Ia normal ya.

"Malah muncul setan yang baru," ucapnya sambil berjalan santai menuju tempat wudhu.

"Diiiiih semprul!" Alvano merangkul Ikal. "Gue bilangin Abi Ustad loh ya abis ngatain gue setan!" Ancamnya sembari berjalan bersama menuju tempat wudhu.

"Gue gak bilang lo setannya," ucap Haikal santai. Alvano pasrah, kalah ia jika bicara dengan temannya yang satu ini.

Keduanya kemudian melepas peci yang mereka gunakan dan menggulung celana mereka, bersiap untuk wudhu karena adzan sudah mulai berkumandang.

"Si Jundi nih pasti yang adzan," celetuk Alvano—atau yang biasa di panggil Vano. Tangannya padahal sudah berada di atas keran.

Haikal melirik Vano sekilas, "Ya siapa lagi, di komplek ini kan cuma dia anak seumuran kita yang punya suara emas. Karena dia juga, anak cewek jadi rajin ke masjid dan ikut ngaji subuh." Jelasnya berdasarkan fakta.

"Suara lo juga bagus!"

"Tapi bangun paginya gak bagus. Kalo gak di bangunin teteh, gak bakal ke masjid dia!" Bukan Haikal yang menjelaskan, tapi seseorang di belakang mereka. Zainal. Orang itu tersenyum lebar saat Haikal dan Vano meliriknya.

"Siapa sih? Sok kenal banget?" Vano menggedikan bahunya menjawab pertanyaan Haikal. Mengabaikan Zainal, keduanya mulai menyalakan keran dan—

"Gak gue kasih contekan lagi loh ya!"

— ia merangkul Haikal dan Alvano. Mencekik lebih tepatnya. Rangkulan mautnya pada leher mereka begitu menyesakkan pernafasan. Beruntung Zainal tahu batas dirinya, jadi ia tak merangkul terlalu lama.

Lepas dari rangkulan Zainal, Vano terbatuk dan menatap temannya itu tajam. Jika saja Zainal tak berperan penting dalam masalah tugas—meskipun pada dasarnya dia dapat mencotek dari anak perempuan—, mungkin ia akan melakukan pembalasan pada temannya yang satu ini.

"Heh itu air nya kalo gak di pake jangan di nyalain kerannya! Kayak yang bayar iuran mck aja!" Sosok Iyang muncul dengan bijaknya—tumben.

Tapi mereka paham, kalau Rian atau biasa di panggil Iyang itu sudah begini artinya ia sedang bersama ayahnya. Karena itu, mereka buru-buru mengambil air wudhu. Takut kena marah pak RT lagi mereka, pak Kuncoro itu kalau sudah marah ya marah.

.

Selepas sholat subuh, anak-anak akan berkumpul di majlis untuk tadarus bersama dan mendengarkan ceramah dari Ustad Salman. Hal itu, sudah menjadi kegiatan rutin di komplek Suka Makmur. Beruntung banyak warga yang menanggapinya dengan positif.

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang